Seiris Luka dan Trauma Masa Kecil Menghantui
Lelaki itu terus menatapku dengan sorot mata tajam, tak ubahnya Serigala Buas nan Beringas. Seakan ingin menerkam dan menyantapku mentah-mentah.
Ditepuknya bahuku seraya diraih jemariku, digenggamnya erat. Aku ketakutan teramat sangat, sontak aku merasa laiknya tengah duduk di atas bara nan panas.
Harga diriku merasa amat dilukai,
diinjak-injak, tak ubahnya alas kaki. Bedebah Keparat itu telah menorehkan trauma di jiwa, yang mengerak dan berkarat.
Mendidih darahku kala itu, menggelegak amarahku hingga naik ke ubun-ubun kepala. Pikirku masih teramat polos namun aku bisa membedakan bentuk ketidak patutan.
Ingin rasanya saat itu aku congkel keluar matanya, aku cakar wajahnya, aku tampar dengan sekerasnya. Guna luapkan rasa amarah yang kadung membuncah.
Mengapa orang dewasa tak penah berpikir panjang, atas apa yang diperbuatnya. Kelak meninggalkan trauma yang membekas di jiwa, dan melekat kuat diingatan.
Mengapa orang dewasa hanya mengikuti otak kotornya, dikuasai syahwatnya. Seakan mata hati buta sehingga tega berbuat hal yang tak terpuji dan mencabik harga diri.
Mengapa...
mengapa...
mengapa..
beribu tanya mengendap dalam diri
menggantung di Langit tinggi
***
Hera Veronica
Jakarta | 10 Oktober 2020 | 18:48
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H