Lihat ke Halaman Asli

Tantangan Konektivitas Bali Menghadapi Perkembangan Model Wisata Interaksi

Diperbarui: 6 Juni 2024   01:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi, 2024


Hampir seminggu di Bali untuk Ubud Food Festival (UFF) 2024 tidak hanya menyenangkan hati tetapi juga menambah wawasan tentang bagaimana model pariwisata yang tengah berkembang saat ini. 

Berkunjung ke destinasi wisata bukan lagi sekadar menikmati alam, singgah ke tempat bersejarah, berbelanja atau menikmati kuliner. Orang-orang mulai mencari arti lebih dalam atas wisata yang mereka lakukan. 

Menikmati kuliner bukan sebatas datang ke suatu tempat makan otentik atau restoran yang tengah viral. Orang rela membayar lebih untuk mengenal apa yang dikonsumsinya, bagaimana prosesnya, dan memberi makna atas santapan tersebut. Alhasil, tur kuliner (food tour) laku keras meski harganya tidak murah.

Beberapa tur kuliner dapat dilakukan dengan berjalan atau biasa disebut walking food tour di satu lokasi. Namun, beberapa tur lainnya berada di lokasi yang cukup jauh antara satu dan lainnya. 

Untuk menikmati tur eksklusif mengenal penyulingan arak Bali di Gunung Batukaru atau tur anggur Sababay Winery, maka orang harus menuju di Gianyar. 

Sementara jika ingin menikmati tur masakan asli Bali sambil mengenal dapur bambu bergaya perdesaan, maka ekspedisi dilakukan ke Desa Les di Utara Bali. 

Demi menghindari kemacetan, orang yang akan ikut tur rela bangun lebih pagi agar bisa mendapatkan makna "interaksi dan eksplorasi" dalam perjalanan wisatanya.

Dalam satu kali kunjungan wisata ke Bali, tidak sedikit orang yang berusaha untuk menempuh beberapa destinasi wisata sekaligus. Dampaknya adalah suasana di jalanan Bali terlihat semakin sibuk, apalagi menjelang sore hari. 

Di sepanjang Jalan Raya Ubud hingga Sanggingan saja terlihat sangat padat bukan hanya oleh orang yang berjalan tetapi juga kendaraan. Dampak ekonomi akan sangat besar apabila suatu hari Bali mengalami titik jenuh pariwisata atas berbagai tantangan tersebut. 

Sungguh disayangkan jika hal itu terjadi mengingat saat ini Bali tengah mengembangkan pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism), salah satunya lewat pengolahan limbah restoran yang dimotori oleh Bali Restaurant and Caf Association (BRCA). Jika wisata kuliner yang dituju sudah peduli lingkungan tetapi perjalanan yang dilalui penuh kemacetan dan menghasilkan banyak emisi tentu hal ini akan menyesakkan perasaan.

Menumbuhkan berbagai jenis wisata di dalam satu area adalah salah satu pilihan yang menarik sehingga orang tertarik untuk menetapkan satu wilayah yang menjadi tujuannya saat berkunjung ke Bali pada satu waktu tersebut. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline