Lihat ke Halaman Asli

Heppy Haloho

Belajar, membaca dan menulis (puisi)

Sara di Negeri Bhinneka

Diperbarui: 31 Maret 2021   14:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Perbedaan itu nyata namun bukan berarti kita harus mempertentangkannya." 

Setiap manusia lahir dengan keunikannya sendiri dan satu hal yang pasti tidak seorangpun di muka bumi ini yang terlahir sama meski kembar identik sekalipun. Setiap orang memiliki susunan gen yang berbeda dan diciptakan oleh Tuhan untuk tujuan yang berbeda-beda pula. Mata kita memang terkadang sulit untuk membedakan orang-orang yang terlahir kembar identik, namun bukan berarti mereka tidak berbeda satu sama lain, barangkali dalam hal karakter, kemampuan, kecerdasan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu sudah seharusnyalah kita menerima perbedaan yang ada dan hidup berdampingan bukannya malah saling menyingkirkan.

Sebagai bangsa yang di huni oleh beragam suku bangsa dan telah berdiri untuk waktu yang cukup lama (75 thn), sudah semestinyalah masyarakat di negara ini tumbuh menjadi orang-orang yang toleran dan menghargai perbedaan satu sama lain bukannya malah saling sikut. Banyaknya kasus SARA yang kini mencuat ke permukaan seakan menjadi penanda bahwa kita telah absen belajar dari pengalaman masa lampau bagaimana bangsa ini dipermainkan oleh sistem adu domba (Devide et Impera). Masa dimana para penjajah menggunakan perbedaan di antara kita untuk mengobrak-abrik bangsa ini dan menguras isinya.

Kini ancaman yang sama sedang berderap di depan pintu kemerdekaan kita, yakni ancaman untuk terpecah belah. Nyatanya kita tak pernah lulus untuk merangkul perbedaan. Tidak peduli bahwa kemerdekaan bangsa ini sejatinya adalah jerih payah para pahlawan bangsa yang tidak disibukkan dengan perbedaan SARA di antara mereka. Sementara itu, kita malah memulai bermain api dengan mengangkat kembali isu SARA untuk kepentingan-kepentingan golongan maupun kelompok-kelompok tertentu. Kita melupakan harga nyawa dan darah yang harus dibayar oleh para pemimpin terdahulu untuk menyatukan bangsa ini.

Tanpa bermaksud memprovokasi kita untuk melihat persoalan ini sebagai sesuatu yang penting, namun memang sudah seharusnyalah kita sadar bahwa situasi saat ini sangatlah genting. Kita pernah mengalami masa di mana kita bergaul dengan baik dengan setiap orang di negara ini tanpa mempertanyakan agama dan sukunya apa, tanpa memandang warna kulit dan asal usulnya. Namun sepertinya sekarang orang-orang beramai-ramai membangun tembok dan kotaknya masing-masing. Sekolah-sekolah agama yang eksklusif tumbuh menjamur, organisasi-organisasi agama pun demikian. Tidak ada hal yang salah dengan ini. Hanya kemudian, apa yang kita ajarkan di sana dan apa yang kita praktekkan akan memberi dampak yang signifikan terhadap pemikiran anak-anak kita tentang wawasan kebangsaan.

Kita mulai membatasi interaksi dengan orang-orang yang kita anggap berada di luar lingkaran kita (beda agama, suku, budaya, paham, partai pun pilihan politik dan lain sebagainnya). Kita bahkan tidak sungkan-sungkan untuk menunjukkan kebencian kita dan menyatakan penolakan kita terhadap orang lain yang kita nyatakan berbeda dengan kita. Setiap kita mulai menganggap bahwa kelompok kita yang paling baik dan mulia sehingga yang lainnya layak diberangus. Kehancuran bangsa ini ibarat api dalam sekam, awalnya tidak terlihat tapi kini kepulan asapnya sudah tampak. Orang semakin anti, anti dengan perbedaan, anti dengan yang liyan.

Kita mulai saling mencurigai dan menganggap musuh setiap orang yang berbeda dengan kita. Kita mulai berpikir bahwa sebagai kelompok yang lebih besar kita lantas berhak menjadi penguasa dan menentukan aturan apa yang berlaku di negara ini. Kita lupa bahwa setiap orang memiliki hak yang sama di depan hukum dan berhak mendapatkan perlindungan yang sama di dalam negara ini. Setiap orang pula punya kewajiban yang sama untuk negara ini.

Namun nyatanya perbedaan kita kini bukan sekedar ketidaksamaan, tetapi telah menjadi tembok pemisah yang menentukan kekuasaan. Kita tidak lagi bekerja bersama untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Kita justru sedang berjuang mati-matian demi golongan masing-masing. Golongan yang kita anggap layak untuk dimenangkan karena yang lain sudah dianggap tidak lagi benar. Setiap aspek mulai disusupi isu SARA dan berpotensi menyebar hingga ke seluruh pulau. Namun masih saja banyak yang kemudian berdalih negera ini masih aman, toleran dan penuh penghargaan.

Padahal,jutaan umpatan, seruan kebencian, kecaman dan makian kian bertaburan di lini media khususnya media sosial setiap harinya. Ada yang prihatin, namun tidak sedikit jumlah orang yang kemudian turut serta di dalamnya bahkan justru bangkit menjadi provokator. Konflik-konflik SARA muncul di mana-mana. Pendirian rumah ibadah penuh konflik, pengrusakan simbol-simbol budaya dan keagamaan makin santer terjadi, larangan beribadah dan lain sebagainya sudah biasa. Apakah yang sebenarnya sedang terjadi?

Negara ini pernah dijuluki negara yang ramah, toleran dan menerima keberagaman dengan baik. Kita bahkan mendeklarasikannya menjadi sebuah motto "Bhinneka Tunggal Ika", berbeda-beda tetapi tetap satu juga. Namun agaknya perlahan motto ini tergerus dalam nilai-nilai masyarakat kita. Kini justru muncul semacam pertarungan antar tiap golongan untuk menjadi penguasa di negara ini. Orang-orang bahkan tidak lagi sungkan untuk memanfaatkan isu SARA untuk memenangkan pertarungan ini. Beberapa menyadari, beberapa lain tidak dan yang lainnya justru tidak mau tahu.

Misalnya saja, ketika itu saya  pernah mengikuti sebuah tes penerimaan dosen di sebuah universitas yang menurut saya adalah universitas yang layak dibanggakan oleh bangsa ini. Namun pun harapan dan pandangan saya akhirnya luntur dengan realitas yang saya alami dalam proses penerimaan dosen di sana. Saya melihat betapa kampus pun telah berubah menjadi wadah dibangunnya tembok-tembok pemisah itu. Kampus tidak lagi menjadi ruang dimana orang-orang dicerahkan, dicerdaskan dan diluaskan pikirannya. Kampus justru mempersempit cara pandang orang-orang yang kita harapkan akan membangun pola pikir bangsa ini kedepan. Saya terkejut ketika isu SARA pun telah menyelusup dalam tes tersebut. Kekecewaan saya semakin parah ketika agama menjadi hal yang dipertanyaan di dalam tes tersebut  meskipun kampus tersebut bukanlah kampus yang berada di bawah naungan suatu yayasan keagamaan. Kampus tersebut adalah kampus negeri di mana setiap orang seharusnya diperlakukan sama. Namun yg dipertanyakan justru relasi agama dan pengajaran saya, samasekali bukan kemampuan akademik sy yg ditanyakan. Hati saya pilu. Namun inilah realita hidup dengan identitas minoritas di negara yg mendekalarasi diri sebagai negara Bhinneka saat ini. Apa dikata ini negeri saya, saya memilih mencintainya meski tak jarang saya kecewa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline