Lihat ke Halaman Asli

Marhento Wintolo

Praktisi Ayur Hyipnoterapi dan Ananda Divya Ausadh

Mati Suri

Diperbarui: 12 November 2021   15:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Menarik sekali mendengarkan cerita seseorang yang mengalami mati suri. Berbagai cerita mereka utarakan. Dan isinya dapat dipastikan berbeda satu dengan lainnya. Katanya ketemu orang-orang yang saleh. Orang yang bersinar wajahnya, hukuman neraka, dan sebagainya. Tetapi itu semuanya hanyalah permainan pikiran. 

Karena sesungguhnya semuanya yang bisa dilihat merupakan memori yang ada dalam ingatan kita sendiri. Ini juga alasan penyebab pengalaman setiap orang berbeda. Bukankah pikiran orang juga berbeda satu dengan lainnya. Pikiran manusia menciptakan dunia bagi masing-masing orang.

Ketika seseorang mati suri, betul nafasnya ada. Jantungnya masih berdenyut, tetapi ketika kita memahami kerja pikiran, sesungguhnya roh masih ada. 

Roh yang merupakan gugusan pikiran serta perasaan atau mind sedang mengembara. Sang roh ini yang bertemu dengan roh yang lain. Itu juga jika ia menginginkan. Sangat sulit bisa berhubungan dengan roh lainnya, karena pengatur frekuensi adalah otak kita sendiri. Tanpa otak atau hardware, sulit terwujud getaran satu frekuensi.

Saya ingat tentang suatu film yang menguraikan pengalaman roh setelah kematian, The Sixth Sense. Dalam film tersebut dikisahkan tentang seorang dokter yang juga psikolog yang meninggal. Pada pikiran terakhirnya, ia ingat pada seseorang yang ingin ia bantu. Si roh ini bisa berkomunikasi dengan pasien atau anak yang ada pada ingatan terakhirnya. Lengkapnya ada di sini.

Seseorang yang dalam keadaan mati suri pun demikian. Si roh mengembara sebagaimana isi pikiran selama masa hidup. Bila dalam kehidupan sehari-hari ia mengisi pikirannya dengan hal yang dianggapnya ada setelah kehidupan, hal itu pula yang akan dijumpai dalam pengembaraannya saat si tubuh mati suri. 

Tampaknya ia atau si orang yang mati suri hanya berjalan pada yang ada dalam pikirannya sendiri. Jika keinginan semasa masih hidup tentang orang yang saleh, itu pula yang akan dijumpai. Mengapa demikian???

Dalam hal ini kita mesti memahami pengetahuan sejati. Dan luar biasanya lagi adalah bahwa pengetahuan sejati hanya bisa dipelajari ketika masih bertubuh. Pengetahuan sejati tidak akan diperoleh di alam setelah kematian. Hal ini berkaitan dibutuhkannya hardware, otak sebagai pengolah data. 

Tanpa adanya otak, kita tidak bisa mengolah data atau pengetahuan mentah yang kita serap dari seorang yang bijak. Saya katakan seorang yang bijak, karena ia hanya bisa berbagi pengalaman.

Pada umumnya, mereka disebut Sad Guru atau Master sejati. Mereka berbagai hal yang sudah dialaminya demi evolusi kesadaran sesama manusia. Melalui shared para Master, kita bisa belajar kemudian mencernanya. 

Tanpa ada otak sebagai hardware, data mentah yang kita terima tidak bisa dicerna atau diolah. Inilah yang disebut sebagai knowningness. Yang kemudian harus menjadi landasan hidup. Kesadaran ini membuat seseorang bisa bertindak dengan tepat. Ini juga bisa disebutkan sebagai intelejensia. Keceradasan alam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline