Bagi penggemar wayang kulit tidak asing dengan istilah ini. Suatu malam saya mendengarkan wayang kulit (kegemaran saya semasa kuliah di Yogyakarta, sekarang bisa dengar dan melihat lewat Youtube.) Cerita tentang Bima disuruh sang guru, Bhagawan Drona, untuk mencari 'Kayu Gung Susuhing Angin.' Kata sang guru, ia juga menerimanya sebagai wangsit, jadi tidak tahu artinya. Padahal dibalik perintah untuk mencari makna kata tersebut adalah agar Bima dibunuh oleh raksasa yang tinggal di suatu hutan.
Adalah keberuntungan Bima, ternyata raksasa bisa dikalahkan. Dan juga raksasa terkalahkan adalah penjelmaan dewa yang dikutuk. Bukannya mendapatkan musibah, sebaliknya mendapatkah berkah. Selain mendapatkan penjelasan tentang makna kata 'Kayu Gung Susuhing Angin' , Bima juga mendapatkan pusaka yang kelak bermanfaat untuk masuk ke samudra.
Dalam penjelasannya, sang dewa mengatakan bahwa makna kata 'Kayu' berarti 'karep' atau keinginan. 'Gung' berarti besar. Sedangkan 'Susuhing Angin' adalah nafas manusia. Singkat kata bermakna: Keinginan yang kuat atau besar hanya bisa terkabul jika mampu menguasai nafas. Luar biasa...............
Penulis cerita wayang memahami makna kekuatan dari nafas. Mereka telah memahami bahwa kehidupan terdiri dari:
Kehidupan: Pengalaman + Pengalaman;
Pengalaman terdiri dari perbuatan + perbuatan;
Perbuatan akibat dari ucapan + ucapan;
Ucapan: pikiran + pikiran..........
Saat pikiran tidak terkendali yang terjadi hidupnya kacau. Dapat dipastikan semua kehidupan kacau. Jika hal ini terjadi, mungkinkah keinginan mulia digapai? Perhatikan saat kita dalam emosi yang negatif, marah, cemas, irihati, sakit hati dan sebagainya, nafas kita pendek dan ritmenya kacau.
Pikiran tidak dapat dilawan. Saat kita memperhatikan pikiran dan berupaya menenangkan, yang didapatkan bukan semakin tenang tetapi semakin gelisah. Jika pikiran tidak bisa tenang dapat dipastikan bahwa keinginan atau karep yang kuat tidak akan tercapai. Bagaimana mungkin pikiran yang tidak jernih atau kacau bisa memutuskan sesuatu dengan tepat? Bagaikan permukaan danau yang berombak, dasar sugai tidak dapat terlihat. Hanya saat permukaan danau tenang, maka segala kotoran mengendap. Dan dengan sendirinya, dasar danau terlihat dengan jelas.
Dalam teks aslinya di Mahabarata, istilah ini, 'Kayu Gung Susuhing angin' tidak ada. Berdasarkan hal ini, sesungguhnya penulis naskah atau istilah ini sangat memahami korelasi antara pikiran dan nafas. Sebagaimana diutarakan sebelumnya, saat pikiran tidak tenang, keinginan yang besar tidak bakal terlaksana atau tercapai. Keinginan yang mulia dapat tercapai bila dan bila menguasai 'Susuhing Angin', menguasai nafas.
Ya, saat nafas terkuasai, maka dengan sendirinya pikiran menjadi tenang. Kita tidak mampu menenangkan pikiran, tetapi kita bisa mengatur nafas agar semakin perlahan. Nafas bisa dikuasai, tidak seperti pikiran. Ibarat suatu tongkat yang dinamakan ketenangan. Pada bagian pangkal adalah pikiran, sedangkan ujung lainnya adalah nafas. Tongkat ketenangan tidak diperoleh saat memegang bagian pangkal, pikiran. Namun tongkat ketenangan didapatkan jika kita memegang bagian ujung lainnya, nafas.
Keinginan mulia atau agung hanya bisa dicapai oleh mereka yang nafasnya terkendali. Nafas berkaitan dengan Prana atau life force atau aliran energi kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H