Pernahkah kita memperhatikan akan akhir dari kata: 'Suka' dan 'Duka'?
Dapat dipastikan sedikit sekali...
Semua karena kita kurang memperhatikan sesuatu yang tampaknya sepele, tetapi sesungguhnya menjadi sarana pembelajaran. Saya juga terispirasi oleh buku ini. Buku yang dituliskan oleh seorang Svami.
Svami bermakna seseorang yang telah menguasai. Bukan menguasai orang lain. Menguaai diri sendiri jauh lebih sulit daripada menguasai orang lain. Menguasai orang lain dengan kekuatan fisik jauh lebih meudah daripada menguasai diri sendiri.
Dalam buku ini tersebut dituliskan bahwa dalam diri setiap orang memiliki Citta. Citta adalah bibit atau benih pikiran. Bibit pikiran ini terbawa dari kehidupan masa lalu. Bibit tetap sebagai bibit jika tidak ada pemicu dari luar.
Ia tidak membahayakan orang tersebut selama tetap sebagai bibit. Yang menjadikan seseorang menderita adalah ketika bibit tumbuh berkecambah dan semakin membesar. Seseorang akan menjadi sangat menderita bila bibit bertambah besar dan menjadi pohon yang sangat sukar ditebang.
Dia yang sudah menguasai dirinya, svami, memahami akan evolusi ini, dan mengetahui dengan tepat bagaimana menjaga agar bibit pikiran tetap sebagai bibit agar tidak tumbuh menjadikan pohon penderitaan.
Perhatikan judul artikel:
Duka- Cita......
Suka - Cita....
Kata terakhir adalah kata yang sama. Artinya bahwa baik 'Duka' maupun 'Suka' sesungguhnya bibit pikiran. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa bibit ini merupakan sesuatu yang imajiner. Ilusi, alias tidak nyata. Namun, jangan lah dipandang enteng atau remeh. Bibit pikiran 'Duka' ataupun 'Suka" jika bertumbuhkembang karena diberikan siraman dan pupuk akan tumbuh besar dan mengganggu kehidupan secara keseluruhan. Yang parah lagi, bisa mematikan potensi diri.