Bayu Gandana tengah menyendiri di pinggir Pantai Carita. Pikirannya melayang-layang menembus batas kenangan masa lalunya bersama Kiyai Furqon, Sang Guru panutannya. Bayu khusyu memikirkan gurunya sehingga deru ombak laut Selat Sunda dengan gemuruh suaranya,tidak mampu membangunkan lamunan anak muda itu.
Wajah Bayu menatap ke arah kepulan asap yang keluar dari Anak Krakatau. Bayu teringat saat Krakatau erupsi bulan Agustus tahun 1883, telah meninggalkan penderitaan bagi masyarakat Banten.
Lima tahun setelah itu, terjadi pula peristiwa heroik pemberontakan rakyat Cilegon melawan penjajah Belanda. Saat itu Bayu berhasil lolos dari kejaran para serdadu kompeni.
Namun di Padepokan Kiyai Haji Wasyid, para ulama harus menerima nasib nahas karena mereka ditangkap oleh para serdadu kompeni. Bayu menduga salah satu dari mereka adalah gurunya, Pimpinan Padepokan Bayu Suci Anyer Kidul. Beliau juga adalah mantan prajurit perang Diponegoro.
Kiyai Furqon adalah salah satu dari ratusan murid Kiyai Mlangi, ulama terpandang yang mendukung perjuangan Diponegoro melawan Kolonial di basis perjuangan Boyolali.
Sebenarnya sebelum peristiwa Krakatau meletus, Kiyai Furqon adalah salah satu Kiyai yang sangat dicari oleh pemerintah kolonial Belanda.
Kiyai Furqon adalah panutan dalam kehidupan Bayu. Selain sebagai seorang guru ilmu-ilmu hikmah dari Al Quran, beliau juga sudah seperti sosok Ayah sendiri. Panutan dalam hal disiplin, teguh dengan pendirian dalam membela rakyat, terutama semangat juangnya yang terus menyala melawan penjajah.
*****
Penjara Menes Pandeglang dibangun pada zaman Kolonial tahun 1848, tempat neraka bagi para kaum pemberontak yang menantang Pemerintah Belanda.
Sudah banyak Para Kiyai yang meringkuk di sana, terutama mereka yang pernah berguru di Pesantren Kiyai Haji Wasyid. Sosok ini dikenal masyarakat sebagai Ki Wasyid, seorang ulama karismatik, penggerak masyarakat Cilegon yang selama ini mengalami penindasan dari penjajah setelah pembubaran Kesultanan Banten.