Ruang Sidang Parlemen siang itu tengah panas mendiskusikan UU Anti Korupsi tentang pasal hukuman mati bagi para koruptor.
Silang pendapat di antara para anggota parlemen berbagai fraksi partai politik itu demikian panas.
Saling bentak dan memukul meja menjadi adegan seru di ruang sidang anggota Parlemen terhormat itu.
Ada yang berpendapat hukuman mati tidak sesuai dengan Hak Azasi Manusia yang berhak untuk hidup.
Namun ada yang berpendapat bahwa manusia juga berhak untuk mati. Tuhan saja menjamin bahwa manusia memiliki hak hidup dan hak mati.
Debat panas berlangsung sengit. Sementara itu seorang anggota parlemen bernama Maxiat Alami yang akrab dipanggil Bung Max malah asyik dengan ponselnya. Rupanya Bung Max tengah asyik bermain gim.
Anggota parlemen satu ini acuh tak acuh dengan pembahasan UU Anti Korupsi ini. Mengapa begitu? Karena dia merasa tidak ada gunanya.
Walaupun ada UU, toh dirinya berulang kali selalu lolos dari jeratan KAK (Komite Anti Korupsi) yang bentukan Pemerintah. Bung Maxiat ini bagaikan belut licin yang sulit ditangkap.
Jika UU Anti Korupsi itu disahkan maka para koruptor diancam hukuman mati. Persetan dengan hukuman mati untuk para koruptor, begitu Bung Maxiat membatin dalam hatinya.
Bung Maxiat ini malah selalu mengolok-olok Pemerintah yang membuat UU hanya untuk menjerat anggota parlemen yang korupsi seperti dirinya.
Lelaki paruh baya bertubuh tambun ini sempat menyeringai di tengah sidang paripurna parlemen siang itu ketika Pimpinan Sidang mengetuk palu tiga kali bahwa UU Anti Korupsi resmi disahkan dan mulai berlaku.