Bagiku usia 25 tahun saat itu adalah kesempatan kedua dalam memperbaiki kesalahan langkah dalam menapaki jalan kehidupan. Sebagai anak tertua dengan 6 orang adik, seharusnya aku sudah mampu mandiri pada usia itu. Ternyata fakta berbicara lain.
BACA JUGA : Karier Cemerlang 4 Artis Drakor yang Masih Cantik pada Usia 40 Tahun
Usai lulus SMA tahun 1975, perjalanan studiku menuju Perguruan Tinggi mulai terbuka. Tantangan di depan jauh lebih menarik daripada harus bekerja hanya mengandalkan ijazah SMA.
Dari sejak awal obsesiku adalah masuk sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang paling "ngetop" di Bandung. Sebenarnya aku hanya bermodalkan nekad saja karena nilai raport SMA ku hanya rata-rata 7,0 saja. Nilai yang sangat absurd bisa lolos ke Perguruan Tinggi yang paling bergengsi di Tanah Air itu.
Teman sekelas dengan nilai rerata 8,0 ada dua orang yang lolos masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan. Mereka saja lebih memilih kuliah di Bogor dibandingkan ikut test masuk di Bandung.
Aku memang tidak tahu diri. Tidak mampu mengukur kemampuan diri sendiri. Selama dua tahun berturut-turut test masuk Perguruan Tinggi Negeri tersebut mengalami kegagalan.
Konyolnya selama dua tahun itu hanya menjadi pengangguran tidak jelas. Bahkan adik lelakiku yang terdekat sudah kuliah selama satu tahun di IPB dan sudah memasuki tahun kedua di sana.
Aku benar-benar hampir frustrasi karena menjadi anak yang hampir tidak berguna. Aku yang seharusnya bisa membantu Ayah dan Ibu namun malah jadi pengangguran. Ayahku seorang prajurit di sebuah Batalyon TNI dan Ibuku seorang Guru Sekolah Dasar.
"Mas mau coba lagi tes masuk tahun ini? Nanti aku temani!" kata adikku memberi semangat.
"Lho kuliah kamu di IPB bagaimana?" Tanyaku pada niat adikku menemani test di Bandung. Adikku hanya bilang jika dia lulus test maka dia akan pilih kuliah di Bandung.