Sore itu Cafe Historica yang berada di Jalan Sumatera Gubeng Surabaya ini masih sepi. Para pengunjung biasanya mulai rame pada malam hari.
BACA JUGA : Sejak Malam Jahanam Itu
Tempatnya tidak begitu luas, tapi penataan tempat duduk yang tepat dan perpaduan warna serasi putih hitam yang kontras, membuat tempat ini terasa lega dan nyaman.
Dalam suasana tenang itu, duduk di depanku Audray Lin. Gadis cantik sensual ini masih asyik mempermainkan jemarinya yang lentik. Aku melihat sebentuk cincin bermata intan melingkar di jari manisnya.
Hening sekali. Andaikan saja ada sebuah jarum jatuh ke lantai maka bunyi dentingnya akan terdengar nyaring. Audray Lin baru saja bercerita tentang dirinya yang membuat aku tertegun takjub.
Sementara itu aku belum mampu berbicara sepatah katapun. Tanganku masih menggenggam kartu Undangan Pernikahan berwarna pink itu. Di luar hujan rintik-rintik masih menyuarakan nyanyian tak berirama.
"Lin kenapa dengan dirimu?"
"Tidak apa-apa, Pak Alan."
"Kamu tidak melakukan.., maaf aborsi?" Tanyaku sangat hati-hati.
Audray hanya menggelengkan kepalanya dengan sangat meyakinkan. Matanya memandangku tajam. Sungguh gadis mandarin ini begitu cantik dalam tatapan mata setajam sembilu. Namun aku melihat Audray Lin mulai terisak.