"Mungkin cara terbaik adalah hanya dengan berserah diri kepadaNya akhirnya akan kutemukan siapa diriku. Aku adalah kefanaan yang dengan pasti berasal dari ketiadaan. Sedangkan Allah adalah sejati sejatinya Kekekalan."
Hari-hari nampak seperti merayap namun pasti akan lewat begitu cepat. Bagaimana mungkin aku menyia-nyiakan saat saat penting terlewatkan begitu saja. Semua hari begitu berarti dalam hidupku.
Semua hari memiliki asa, harapan dan sebaik-baik harapan adalah Ridho Allah. Setiap hari yang terlewati adalah berkurangnya kehidupan dan semakin dekatnya hari kematian. Benar orang-orang Bijak selalu berkata bahwa dalam hidup ini tidak ada yang pasti. Dalam hidup ini yang pasti hanyalah hari datangnya kematian.
"Hensa. Woi Hensa!" terdengar suara Alan membangunkanku dari renungan yang dalam itu.
"Kamu pasti sedang rindu sama Aini ya!" kembali suara Alan. Aku menatap sobat kentalku. Jujur aku memang sedang rindu sekali kepada Aini.
"Ya sebulan sudah dia pergi. Sejak telpon terakhir minggu lalu, Aini belum menghubungiku lagi. Emailku yang kemarin saja belum dibalasnya," kataku datar.
"Mungkin dia sibuk. Katamu dia sedang intensif bahasa Inggris."
"Iya tiga bulan ini sebelum memulai kuliah semester pertama"
"Okey Bro kini saatnya kita pulang!" Ajak Alan Erlangga.
"Al sorry. Aku masih ada kelas Kimia Organik satu jam lagi. Kamu pulang duluan saja!"