Bogor adalah kota penuh cerita. Bukan saja cerita hujan karena sering disebut orang sebagai Kota Hujan, namun juga cerita tentang kemarau panjang dari sebuah hati yang sangat mendambakan setetes hujan.
"Hensa ini merupakan cobaan buatmu. Tapi tak perlu berkecil hati, kamu pasti bisa mengatasinya." Suara Alan Erlangga memecah keheningan di Perpustakaan Fakultas MIPA itu. Sementara di luar sana, hujan masih deras mengguyur kota Bogor.
"Thanks sobat. Masalahnya adalah Erika tidak mencintainya dan bodohnya aku tidak bisa berbuat apa-apa, " kataku penuh rasa gundah.
"Sejak pertunangan itu, kapan terakhir kamu ketemu Erika?" tanya Alan.
"Dua hari yang lalu saat usai praktikum Kimia Makanan. Saat itu tidak banyak Erika berbicara padaku walaupun aku sudah berusaha mengajak berbincang dengannya," kataku.
"Kau harus berbesar hati Hen. Gadis seperti Erika adalah seorang anak yang patuh kepada orang tua. Jadi ini bukan bentuk penghianatan dia kepadamu." Suara Alan kembali mengingatkanku.
"Ya aku juga yakin Erika masih mencintaiku." Kataku kepada Alan. Percakapan singkat dengan Alan tidak berhasil menghilangkan rasa gundahku. Aku meninggalkan Alan di perpustakaan itu lalu turun melalui tangga menuju lantai satu.
"Hensa !" Suara merdu memanggilku ketika aku sudah sampai di depan ruang Senat. Aku menoleh ke arah suara merdu seorang gadis. Aini Mardiyah berjalan ke arahku sambil menebarkan senyumnya yang ramah.
"Sore nanti praktikum Kimia Analitik jangan lupa," kata Aini. Gadis ini adalah sahabat dekatnya Erika. Ya namanya Aini Mardiyah, seorang gadis berhijab, cantik, ramah, cerdas dan sholehah.
Kepadanya aku sering diskusi tentang hal-hal yang berhubungan dengan agama. Setiap berdiskusi dengan Aini rasanya begitu nyaman dan mengasyikan. Aku kagum kepada Aini, masih relative muda usia namun pengetahuan agamanya sudah sangat luas.