Lihat ke Halaman Asli

AKIHensa

TERVERIFIKASI

Pensiunan sejak tahun 2011 dan pada 4 Mei 2012 menjadi Kompasianer.

Nasib Perjanjian Nuklir Amerika Serikat dan Rusia

Diperbarui: 22 Oktober 2018   09:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Donald Trump (Foto REUTERS/Carlo Allegri)

Saling tuding dua Negara Adikuasa ini tentang pelanggaran terhadap perjanjian nuklir mereka saat ini begitu ramai dibicarakan dalam media International. Seperti banyak diberitakan media bahwa Presiden Donald Trump mengumumkan rencana AS untuk meninggalkan INF pada Sabtu (20/10/18). Dia beralasan bahwa Moskow telah melanggar kesepakatan. Berita hangat ini tentu saja menghiasai pemberitaan pekan dalam kancah International.

Menanggapi hal ini pihak Rusia mengatakan bahwa jika Amerika Serikat membatalkan perjanjian maka akan sangat mengancam perdamaian dunia. "Ini akan menjadi langkah yang sangat berbahaya. Saya yakin, ini akan memancing kecaman global yang serius," ujar Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Ryabkov, kepada kantor berita TASS, melansir AFP seperti dikutip CNNIndonesia.com (21/10/18).

Sergei juga langsung membantah tuduhan pelanggaran kesepakatan sebagaimana dilontarkan oleh Presiden Trump. Bahkan Sergei justru melemparkan tuduhan tersebut kepada AS. Rusia hanya membiarkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan AS itu terjadi.

Traktat Senjata Nuklir Jarak Menengah atau INF (Intermediate-Range Nuclear Forces) sudah berjalan selama tiga dekade sejak Presiden AS, Ronald Reagan menandatanganinya pada 1987 silam. Perjanjian tersebut punya peran penting untuk keamanan internasional di bidang senjata nuklir dan pemeliharaan stabilitas global.

Rusia menganggap bahwa Amerika Serikat gagal menghadirkan fakta konkret yang membuktikan tuduhan tersebut. Para Diplomat Rusia justru memiliki penilaian bahwa kebijakan USA yang menjadi tantangan serius dalam upaya  pengurangan jumlah senjata nuklir di dunia. Belakangan beberapa pengamat beranggapan bahwa tuduhan Trump tersebut ada hubungannya dengan bagian dari kampanye propaganda anti-Rusia.

Pengurangan senjata nuklir melalui kesepakatan antara Washington dan Moscow mulai diterapkan. Namun pihak Amerika mendesak agar Rusia melakukan reduksi senjata nuklirnya hingga 30 persen. Namun  nampaknya Rusia memang belum siap untuk mengurangi potensi nuklirnya lebih jauh. Hal ini karena  pengurangan armada nuklir strategis melebihi kesepakatan yang tercantum dalam Strategic Arms Reduction Treaty (START III) akan memberikan kesempatan kepada Amerika Serikat untuk menyerang Rusia dengan senjata konvensional seperti misil jelajah. Ini adalah kekhawatiran yang beralasan.

Isu tentang senjata nuklir ini kembali ramai dibicarakan terutama menjelang diadakannya pertemuan Tingkat Tinggi antara Presiden Donald Trump dan Presiden Rusia, Vladimir Putin.  Penasihat Keamanan Nasional AS, John Bolton, harus sudah berada di Moskow, Rusia, pada Minggu (21/10). Kedatangannya itu dilakukan dalam mempersiapkan menjelang pertemuan puncak tersebut.

Sejak era perang dingin beberapa dekade yang lalu, pengurangan senjata nuklir diantara dua Negara adikuasa ini benar-benar sangat diharapkan berjalan dengan baik. Semua warga dunia begitu memimpikan kedamaian yang sebenarnya bukan kedamaian metamorfosa yang semu.

Semoga juga ancaman Amerika Serikat terhadap pembatalan perjanjian nuklir jarak menengah bersama Rusia tidak terjadi sehingga mereka benar-benar bisa menyepakati pengurangan senjata nuklir sesuai kesepakatan diantara mereka. 

#hensa #kompasiana 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline