Pabrik Gula merupakan sebuah potret lama sebuah industri peninggalan Belanda yang hingga saat ini masih terasa keberadaannya.
Baik dari segi fisik berupa bangunan tua sebuah pabrik yang terkesan angker maupun sisa-sisa teknologi yang diwariskan Belanda.
Walaupun sebuah potret lama yang mungkin sudah hampir usang namun sekarang sudah mulai lagi dilirik terutama pada beberapa potensi yang dimilikinya sebagai sumber energi hijau.
Pada saat pertumbuhan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di Indonesia semakin besar dengan perkiraan tingkat konsumsi mendekati jumlah sekitar 33,4 milyar liter, sementara itu justru cadangan minyak bumi semakin menipis.
Diperkirakan rasio cadangan dan produksi minyak bumi berbahan baku fosil ini hanya tinggal sekitar 10 tahun ke depan.
Semakin terbatasnya cadangan minyak bumi yang selama ini menjadi andalan energi dan sumber devisa telah membuka wawasan untuk pencarian energi berbahan alternatif yang lebih terbarukan.
Proses pembuatan gula pasir diawali dari kegiatan panen tebu yaitu penebangan di areal kebun untuk mendapatkan batang-batang pohon tebu.
Tebang tebu ini menghasilkan berton ton sisa dari kegiatan tebang berupa daun-daun tebu yang sudah dipisahkan dari batangnya.
Dari luas total area tebu di Indonesia yang sekitar 400 ribu ha bisa diperoleh sekitar 31,2 juta ton tebu siap untuk digiling dan 4,4 juta ton daun tebu tersisa di kebun.
Ini berarti bahwa pada saat yang sama dalam proses selanjutnya di dalam pabrik akan dihasilkan pula sekitar 9,98 juta ton ampas (32 %), 1,5 -- 2 juta ton tetes (4,9 %), dan 0,8 juta ton blotong (2,5 %).
Potensi biomasa sekitar 4,4 juta ton daun tebu dari kebun ini bisa digunakan sebagai bahan baku energi terbarukan dan ramah lingkungan.