Lihat ke Halaman Asli

Henri Satria Anugrah

Penulis Konten Pengembangan Diri

Generasi Muda Menjadi Kebarat-baratan karena Budaya Indonesia Lemah!

Diperbarui: 30 Oktober 2019   15:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi orang yang mengadaptasi budaya luar ke Indonesia, sumber otakuhouse.com

Istilah kebarat-baratan tengah populer terdengar di masyarakat. Liberal, tidak-Indonesia, bahkan tidak taat agama kerap berasosiasi dengan istilah kebarat-baratan. Banyak yang menganggap bahwa kebarat-baratan bukanlah Indonesia dan Indonesia dengan sejalan dengan nilai-nilai Barat.

Namun, kebarat-baratan telah berasosiasi di kalangan anak muda. Bahkan, ada sebagian generasi tua yang beranggapan bahwa generasi muda sudah rusak karena tercampur dengan paham-paham Barat.

Memanglah harus diakui bahwa generasi muda Indonesia telah terpapar berbagai budaya luar. Tidak hanya kebarat-baratan, kekorea-korean, kejepang-jepangan, dan kearab-araban pun sudah banyak diadopsi oleh masyrakat Indonesia, bahkan hingga kepada sebagian generasi tua.

Akibatnya, generasi tua --yang merasa "Indonesia banget" itu-- pun sering marah. Katanya, budaya Indonesia sedang hancur. Katanya, Indonesia masih "dijajah" dengan dirusak mental anak mudanya. Katanya, generasi muda kelak akan menghancurkan Indonesia. Padahal sebenarnya, siapakah yang menghancurkan Indonesia, atau setidaknya budaya Indonesia itu sendiri?

Budaya Barat telah menghibur generasi muda dengan karya-karyanya. Sampai-sampai, generasi muda rela mengeluarkan Rp50.000 untuk menikmati film Barat di bioskop. Padahal di rumahnya, ada tontonan gratis, yang terdiri dari ratusan episode itu, yang kata generasi tua, itulah yang disebut "Indonesia banget".

Kata mereka, sinetron mengajarkan nilai-nilai luhur dan sopan santun, sehingga itulah yang perlu diadopsi oleh generasi muda sekarang. Lantas, mengapa Rp50.000 tidak berat untuk dikeluarkan hanya untuk menyaksikan tayangan selama dua jam? 

Lebih jauh, boyband dan girlband Korea yang bernyanyi dan menari dengan energik pun telah banyak digemari oleh generasi muda Indonesia. Katanya, fans korea ini tidaklah nasionalis. Karena terlalu fanatiknya, mereka sampai rela menghabiskan waktu untuk belajar bahasa Korea secara mandiri (misalnya, dari internet, ikut les di tempat-tempat tertentu, dll). Padahal, "Bahasa Korea" tidak ada pada mata pelajarannya di sekolah.

Padahal, kita semua tahu bahwa huruf-huruf bahasa Korea itu bentuknya sangat aneh dan sulit dihapalkan bagi orang Indonesia. Generasi tua pun menjadi geram dengan ujaran "Mengapa tidak belajar aksara Jawa saja?" 

Anime, film animasi dari Jepang pun telah banyak digemari oleh generasi muda. Sampai-sampai, semua generasi muda pasti tahu bahwa kage bunshin no jutsu adalah jurus seribu bayangan yang menjadi andalan Naruto untuk mengecoh lawan ketika bertarung dengan musuh-musuh Desa Konoha.

Kata generasi tua, kartun seperti ini tidak mendidik karena mengandung kekerasan dan tidak masuk akal. Kata generasi tua yang berada di Komisi Penyiaran Indonesia, sinetron azab jauh lebih mendidik karena mengandung nilai-nilai luhur dan kebaikan, sehingga bermanfaat untuk perkembangan moral bangsa (lihat: Q&A: ANTARA KPI DAN SPONGEBOB (2/6)).

Lantas, mengapa banyak generasi muda yang berteriak "kembalikan tayangan hari Minggu pagi di Indosiar seperti dahulu kala!" di media sosial? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline