Lihat ke Halaman Asli

Bonsai yang Baik Bukan Sekadar Urusan Teknis

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1381975745481421806

Oleh Henri Nurcahyo [caption id="attachment_272447" align="alignleft" width="300" caption="Loa, koleksi Husny Bahauan, Sidoarjo"][/caption] Ketika bonsai sudah disebut “seni bonsai” maka itulah saatnya parameter bonsai yang baik bukan semata-mata urusan teknis semata. Bonsai adalah juga karya seni. Penilaian bonsai tidak bisa hanya dilihat dari gerak dasar, keserasian dan kematangan serta penampilan. Keempat kriteria itulah yang selama ini digunakan dalam pameran (kontes) bonsai selama ini. Apa boleh buat, memang hanya PPBI yang secara ajeg menyelenggarakan kontes di berbagai tempat dengan penjurian yang sudah melembaga. Berangkat dari anggapan bonsai sebagai karya seni itulah maka dalam setiap pameran bonsai (sejatinya kontes) saya berusaha menikmati pameran bonsai sebagai pameran karya seni. Perkara ada penjurian yang sudah menentukan bonsai yang baik, itu hanya salah satu versi saja. Meski sudah dinyatakan “baik sekali” oleh Juri dan dikukuhkan dalam The Best Ten bahkan Best in Show misalnya, bisa jadi pilihan juri itu tidak menarik perhatian saya. Sangat mungkin ada bonsai lain diluar pilihan juri yang justru lebih menarik perhatian saya untuk diapresiasi sebagai sebuah karya seni. [caption id="attachment_272448" align="alignright" width="300" caption="Kimeng koleksi Arifin Prolinx Probolinggo"]

13819759081497218663

[/caption] Dalam pameran yang dilaksanakan setelah PPBI Cabang Bangkalan sekian lama vakum, kini bangkit lagi dengan menggelar pameran nasional seni bonsai di alun-alun Bangkalan, 6-13 Oktober 2013. Pameran yang menandai HUT Kabupaten Bangkalan ke 482 ini memilih tema dengan kalimat yang puitis: “Desir-desir semangat di dedaunan mungil”. Kali ini pameran diikuti bonsai kelas Madya sebanyak 41 bonsai, kelas Regional 71 bonsai dan kelas Prospek 59 bonsai. M. Effendi Nurtribudi (Pepeng) Ketua Panitia, menjelaskan, pameran ini baru pertama kali diselenggarakan sejak ketua PPBI Cabang Bangkalan, Abdul Muis, meninggal dunia sekitar tahun 2008. Setelah terpilih Ketua PPBI Cabang Bangkalan yang baru, H. Amin Mansur, baru bangkit lagi dengan menggelar pameran yang dibuka oleh Bupati Bangkalan, KH. Makmun Fuad Amin, Rabu (9/10). Yang bertugas sebagai Dewan Juri adalah Rudi Nayoan, sedangkan Tim Juri terdiri dari Weni Atmoko (Tuban), Gembyak (Malang), S. Wahjudi (Sidoarjo), Maya (Bandung), dan seorang juri dari Jember. Dari bonsai yang diikutkan menjadi peserta terpilih The Best Ten kelas Madya, Regional dan kelas Prospek, masing-masing tidak ada bonsai yang dinyatakan sebagai Best in Show. Sepuluh bonsai yang terpilih dalam The Best Ten kelas Madya adalah sebagai berikut: 1. Arjuna koleksi Bertono, Pasuruan 2. Asam Jawa koleksi Fauzan, Bangkalan 3. Elegan koleksi Dhiet, Bangkalan 4. Gulogumantung, koleksi Slamet 5. Kimeng koleksi Arifin Prolinx Probolinggo 6. Loa, koleksi Husny Bahasuan, Sidoarjo 7. Santigi koleksi Achmad Fauzan, Kamal 8. Santigi koleksi Slamet 9. Serut koleksi David, Sidoarjo 10. Serut koleksi Supa'i, Bangkalan Dari 10 bonsai tersebut, salah satu yang menarik perhatian adalah bonsai Loa, koleksi Husny Bahasuan dari PPBI Cabang Sidoarjo. Sepintas lalu bonsai ini seperti gaya raft, dengan banyak cabang menjulur ke hampir semua arah. Padahal jika ditelisik lebih teliti, bonsai ini sejatinya sejatinya “menyembunyikan” batang utamanya dalam jepitan batu di bagian depan dan belakang. Sementara bekas-bekas potongan cabang yang nampak berlubang malah senada dengan cekungan-cekungan pada batu yang menjadi landasannya. Di sinilah letak kreativitas senimannya bagaimana memposisikan batu menjadi kesatuan penampilan bonsai itu sendiri. Bonsai lainnya yang juga menarik adalah Kimeng, koleksi Arifien Prolink dari Probolinggo. Hampir sama dengan Loa di atas, bonsai ini memiliki banyak cabang namun hampir semuanya berdiri tegak. Yang nampak unik adalah, diantara banyak cabang itu sebetulnya merupakan akar-akar gantung yang menjulur ke bawah dan sudah membesar sehingga menyerupai cabang. Kanopi sengaja dibuat gundul, tanpa daun, sehingga memperlihatkan percabangan yang selesai ditraining hingga mencapai anak ranting dan cucu ranting. Dua bonsai tersebut dapat dikatakan sebagai “bonsai yang berbicara” lantaran memandanginya tidak cukup waktu sejenak. Dibutuhkan beberapa lama untuk menikmatinya sehingga memancing inspirasi tersendiri. Begitu pula dengan bonsai Santigi, koleksi Ahmad Fauzan dari Kamal, Madura. Bonsai yang satu ini memiliki beberapa cabang menuju arah yang berbeda dengan batang utama memperlihatkan serat kayu bagian dalam yang meliak-liuk. Seperti dua bonsai sebelumnya, Santigi yang satu ini juga membutuhkan waktu beberapa jenak untuk dapat menikmatinya. Sebagai sebuah karya seni, maka bonsai memang bukan tanaman hias biasa yang sekadar tampil subur dan indah dipandang. Proses penggarapan sebuah bonsai pasti disertai dengan muatan ekspresi dari senimannya. Kadar muatan itulah yang menentukan apakah bonsai tersebut berkualitas atau tidak. Sesungguhnya karya seni yang baik itu manakala mampu memberikan kesempatan untuk mendapatkan banyak makna dengan berulangkali menikmatinya. Karya seni yang baik manakala tidak membosankan memandangnya berkali-kali, dan bukan hanya cukup dinikmati sekali pandang saja. [caption id="attachment_272449" align="alignleft" width="300" caption="Serut koleksi Supa"]

1381976036411903924

[/caption] Dalam kaitan inilah maka bonsai Serut koleksi Supa’i dari Bangkalan layak juga dinikmati berlama-lama. Bonsai ini juga memiliki banyak cabang dan dahan besar yang menyerupai cabang merunduk. Mirip dengan Loa koleksi Husny di atas, dua buah batu yang mengapitnya ikut memperkuat penampilannya. Juluran cabang-cabangnya yang nampak agak berbelit justru menimbulkan rasa penasaran untuk mengetahui alurnya. Sementara bonsai lainnya, bukan berarti bonsai yang tidak bagus, toh setidaknya para juri sudah mengganjarnya menjadi The Best Ten. Tentu saja para juri memiliki kriterianya sendiri. Apa yang diulas di sini hanyalah hasil pengamatan dari 10 bonsai terpilih tersebut yang dianggap memiliki sesuatu untuk diceritakan. Dan ternyata, diluar The Best Ten itu ada juga bonsai-bonsai lain yang tampil menarik. Kelas Regional Sementara itu, dari 10 bonsai terbaik kelas regional dalam pameran ini, nyaris tidak ada yang menarik perhatian untuk saya amati lebih jauh. Semuanya saya nilai “biasa-biasa” saja meski dinyatakan terbaik menurut juri. Kalau toh ada yang sedikit beda adalah bonsai serut koleksi Al Qhodiri Probolinggo. Bonsai yang satu ini terlihat sangat menonjol batangnya yang terlihat kontras dengan beberapa ujung cabang yang berdaun. Secara sepintas bonsai ini sepertinya tidak seimbang, tetapi justru karena tidak seimbang itulah maka keberadaan batang menjadi dominan dan menarik perhatian. Sangat jarang ada bonsai yang lebih menonjolkan batangnya ketimbang perantingannya misalnya. Pangkal batangnya mengimajinasikan seperti ular yang sedang tidur melingkar-lingkarkan tubuhnya. Bonsai yang mengundang imajinasi. Itulah faktor yang membuat orang “dipaksa” untuk menikmati tidak hanya dalam sekali pandang. Bonsai seperti itulah yang membawa pesan bahwa kehadirannya bukan hanya sekadar tiruan dari pohon besar yang ada di alam. Ketika bonsai sudah ditabalkan sebagai karya seni, maka bisa jadi penampilan bonsai itu sama sekali tidak berurusan apakah bentuknya ada di alam atau tidak. Kondisi alam tidak lagi mutlak menjadi acuan untuk menilainya. Kenapa sebuah bonsai dibentuk seperti itu, semata-mata karena pertimbangan artistik yang masih memungkinkan sebagai mahluk hidup. Pada titik inilah yang membedakan seni bonsai dengan seni patung. Bagaimanapun bonsai adalah mahluk hidup yang memiliki kemauannya sendiri, bukan hanya benda artistik yang dapat diperlakukan apa saja. Namun dalam perkembangannya, sekarang yang namanya seni rupa tidak semata-mata menggunakan elemen benda mati. Seni rupa sudah bergeser menjadi Performance Art yang menjadi sebuah tontonan pertunjukan. Ah sudahlah, itu terlalu melebar kalau dibahas di sini. Kembali pada The Best Ten kelas regional pameran bonsai di Bangkalan ini, selain serut yang tadi, setidaknya ada lagi yang bisa ditoleh yaitu Serut juga, koleksi Teguh Ponorogo. Perhatikan alur gerak batangnya dari pangkal hingga ke ujung yang seperti meluntir itu, langsung menggiring imajinasi pada gerak penari. Ada suasana ritmis yang mampu hadir ketika menelusuri tampilan akar yang menggelembung seperti kaki yang bersimpuh, mengalir ke pangkal batang hingga mencapai kanopi. Bonsai yang lain, mungkin bisa disebut Wacang, entah koleksi siapa karena namanya terhapus, yang memiliki batang yang sudah rusak. Sebagai karya seni justru kerusakan batang seperti itulah yang menjadi artistik. Sementara sebagai pohon yang hidup, mengundang kekaguman perihal survivalitas. Kesan yang muncul adalah, betapa hebatnya daya tahan pohon ini masih bisa tetap hidup meski kondisi batangnya sudah “rusak” parah. Bukan hanya mampu survive, tapi juga tampil indah. Itulah hakekat sebuah seni bonsai. (*) Foto-foto dan artikel bonsai lainnya silakan buka: http://jelajahbonsai.blogspot.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline