Berlian Biru
Sudah 20 hari sejak kasus itu bergulir, aku masih belum bisa menyelesaikan teka-teki hilangnya harta karun di sebuah rumah yang sebentar lagi menjadi milik penghuni lain. Sebab rumah itu sudah laku terjual. Dan si penjual rumah itu adalah klien kami.
***
“Begini, Mas. Saya mohon maaf. Saya tahu saya salah. Usaha yang saya geluti terlilit hutang cukup besar dan sudah lewat jatuh tempo. Saya merencanakan niat ini jauh-jauh hari. Tapi, lama saya berpikir, saya putuskan berlian ini saya titipkan sampean saja. Saya malu bertemu Koh Djaja untuk mengembalikan berlian ini seorang diri. Saya mohon sampean mau jadi perantara saya. Saya harap kasus ini bisa selesai dengan cara baik-baik,” terang Bapak Hang duduk di depan meja kerjaku dengan kepala tertunduk.
“Justru saya merasa senang dengan niat baik Bapak Hang berkata demikian. Akhirnya saya dan Bos Udin bisa menyelesaikan kasus ini sesuai waktu yang sudah ditargetkan. Soal pengembalian berlian itu Bapak Hang tidak perlu khawatir. Nanti akan kami sampaikan kepada Bapak Djaja. Percayakan semuanya pada kami,” balasku dengan perasaan lega.
Sesaat Bapak Hang mengangguk. Wajah yang tadinya tampak resah tiba-tiba berubah senyum penuh harapan.
Saking senangnya Bos Udin yang juga turut di samping kami mendengar hal itu, sesaat ia membuka jendela kantor kami. “Kabar bahagia ini harus disambut dengan sinar matahari pagi yang cerah.”
Sekejap silau cahaya menghantam saraf-saraf mataku hingga membuat jempol kakiku terasa nyeri.
“Bangun-bangun!” ucap Bos Udin menjepit jempol kakiku dengan jari telunjuk dan jempol tangannya.
Sesaat aku bangkit. Berusaha duduk dan meluruskan punggung sekenanya. Aku menyesali pertemuan tadi, ternyata hanya sebuah bunga tidur.
“Nyenyak sekali kau tidur,” tukas Bos Udin dengan keringat menghiasi wajahnya.