Lihat ke Halaman Asli

Operasi Tangkap Tangan

Diperbarui: 20 April 2023   17:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejak usai era reformasi Joni sudah tidak lagi pernah terlihat. Jangankan batang hidungnya andai mati tak ada kabar di mana kuburnya. Beberapa teman seangkatan yang dulu sama berjuang masih sering bertanya-tanya, hal itu lantaran peran Joni yang sangat kuat. Maklumlah, teman-temannya itu kini sukses di beberapa pos strategis dunia politik berkat Joni.

Sebagai sosok penting kala itu Joni tak sendiri sebetulnya. Di belakang ada dua teman yang selalu memberi amunisi debat yang siap membuat lawan-lawannya berkeringat dingin. "Rot. Tambah lagi satu cappuccino," tukas salah satu teman yang sedang kumpul satu meja berbentuk kotak yang lagi membahas proyek strategis.

Tak berselang lama satu teman datang dengan tangan menenteng buku folio kecil motif batik merah kotak-kotak mirip buku kasbon hutang piutang. "Dua kopi hitam Bro," pinta Urip menyapa sembari bersandar di dinding depan warung Djarot.

"Masih saja kau jatah kopi hitam orang gila itu," ujar salah satu orang yang sedang kumpul di meja kotak tadi.

"Gila-gila gitu dia orang paling setia datang saat warung ini sepi," tukas Urip yang disambut senyum dari Djarot sembari mengantar dua kopi hitam.

"Halah datang tak bayar saja kau banggakan," balas salah satu dari mereka. "Sudah-sudah, kapan final urusan kita ini," tukas satu orang di meja kotak itu lagi.

Siang itu cuaca tak begitu panas, angin semilir menyapu warung membuat suasana semakin mesra. Urip dan Djarot duduk bersama masih bersandar di dinding warung. Tatapan bola mata tertuju pada teman-temannya yang lagi kumpul dan boleh dikata sukses ketimbang nasib mereka berdua. Maklum semenjak kehilangan jejak Joni nasib mereka tak menentu. Agak gembel-gembel gimana gitu.

Sambil menyulut sebatang rokok terlihat wajah Urip yang tiba-tiba sumringah. "Suro datang bro, dia datang," ujar Djarot senang.

Siapa lagi kalau bukan laki-laki gila bersarung lusuh berbadan tegap berkulit hitam penuh bolot. Rambut gondrong berantakan dan di bibirnya sepotong rokok yang tak terlihat ada bara api menyala.

"Kopiku, mana kopiku!" ujar Suro dengan tatapan tajam.

"Ayo sini duduk," ujar Urip sembari menyodorkan kopi hitam kesukaannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline