Sudah tiga hari berlalu, belum juga ada tanda-tanda munculnya sepasang suami istri itu. "Kemana gerangan mereka berdua menghilang." kata Putera Nara dengan suara lirih.
Tak jauh di sampingnya, ada Ki Purwa setia menemani keponakannya. Lelaki setengah baya itu nampak pula berpikir keras, sorot matanya yang tajam bagai tatapan elang tiba-tiba melunak dengan kepala sedikit mendongak. "Ehem. Kuali sakti, sudah kau coba tuanku?" tanyanya.
"Ooo," sambil memegang keningnya "Kenapa aku melupakan itu. Ya, ya, ya," timpal Putera Nara seraya bergegas menuju ruang kuali sakti.
Ruangan itu tak terlalu besar, kira-kira berukuran 3x3 meter persegi. Dinding-dinding dan lantainya semua berwarna hitam. Sangat gelap gulita tak ada lampu satu pun terpasang.
"Adamar." ucap Ki Purwa saat mendampingi Putera Nara memasuki ruangan itu, sontak cahaya kecil muncul dari sudut bawah kanan dinding. Yang jelas ruang itu kini menjadi sedikit terang.
"Kuali sakti. Tunjukan di mana keberadaan lelaki yang kutaklukan malam itu?" kata Putera Nara dengan suara tergesa. Sesaat kemudian air di dalam kuali terlihat seperti mendidih dan berubah warna menjadi merah darah.
"Sekali lagi. Tunjukan di mana istrinya?" ucapnya lagi. Segera air di kuali itu pun memberikan isyarat warna merah darah yang sama.
"Mati." lirih suara yang keluar dari mulut Ki Purwa, "Kau berhasil membunuhnya tuanku." menegaskan kepada Putera Nara dengan menepuk-nepuk pundaknya.
"Akhirnya," sambil mengeluarkan napas "Kita mampu menguasai hutan itu tuanku" kata Ki Purwa lagi.
Mendengar ucapan pamannya, tak lantas Putera Nara lega. Bola matanya masih berkeliaran, pikirannya mendadak teringat akan sesuatu.
"Ki Purwa," sapa Putera Nara.
"Ya tuanku" balasnya.
"Bayinya. Di mana bayinya!" kata Putera Nara seperti gugup.
"Ayo tuanku, lakukan lagi," jawabnya.