Lihat ke Halaman Asli

Henri Koreyanto

Kuli Kasar

Cerpen: Menunggu Kedatangannya

Diperbarui: 16 Desember 2021   19:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit berpayung mendung pekat berwarna abu-abu datang begitu cepat. Diiringi dendang suara gemeruh kilat terus bermunculan menakutkan. Menambah semangat angin kencang menari-menari hingga terlihat nyiur meliuk-liuk seperti hendak jatuh terkulai tak berdaya di hamparan pasir putih dusun nelayan.

Dadanya semakin berdegup cepat, membuat jari jemari tangan dan kaki terus menghentak tak beraturan. Sorot matanya terus mengarah ke hamparan laut lepas. Belum muncul juga sesosok yang ditunggu-tunggunya.

Tak sabar hatinya, badan pun mulai berontak. Beranjak dari tempat duduk potongan batang pohon kelapa. Diraihnya kayu-kayu bakar, dia pantik api berkobar ditaruhnya panci di atas. Dimasaknya air tawar hingga panas.

Dilihatnya jendela yang melambai-lambai karena angin kencang. "Aih" ujarnya. Dengan cepat dia meraihnya, menutup rapat dan menguncinya.

Baru dua langkah menjauh dari jendela terdengar ribuan air hujan turun ramai mendendang irama melalui atap rumahnya.

Hatinya semakin cemas. Detak jantung terus berdenyut melaju kencang. Pikiran mulai diliputi rasa was-was yang tiada jelas.

Dia pun mencoba duduk sembari memandang ke laut lepas, mengharap Abah Emak datang dan pulang. Teringat air tawar yang dimasaknya mendidih dia angkat dan disiapkannya bak hitam mirip baskom untuk mencuci kaki Abah Emaknya. Ritual kebiasaannya menyambut Abah Emak ketika pulang melaut.

Hujan lebat mulai mereda berganti dengan gerimis kecil menyapa. Masih ditunggunya dengan setiap kehadiran orang tua. Hingga gelap gulita datang menyapa. Terdengar suara azan magrib berkumandang, dia pun bergegas menyiapkan sarung baju koko dan mukena milik Abah Emaknya di lantai dekat dipan kamar.

Semangatnya terus berkobar, setia menanti kedatangannya. Nyalinya tak pernah surut, selalu pasang seperti air laut, sesekali dia tengok hingga ke bibir pantai pasir putih. Tak ada sekelabat ataupun tanda-tanda kedatangan itu.

Bergegas langkah kakinya menuju rumah. Ditutupnya pintu belakang dengan pelan dan di taruhnya lampu petromak di meja. Tak lama telinganya menangkap suara. Suara ketukan dari pintu kayu, ditolehnya ke arah pintu belakang dahinya mengkerut. Tak biasa abah emak datang melaut dari pintu depan.

Disambutnya suara ketukan yang kian cepat itu. Berlari dia menyegerakan, dibukanya pelan. Terkejut matanya menangkap pandangan. Si Mbah penjual nasi pecel pinggir dermaga datang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline