Lihat ke Halaman Asli

Henri Koreyanto

Kuli Kasar

Dari Kripik dan Kritik Pedas

Diperbarui: 6 Oktober 2021   09:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika masih era tahun dua ribu empat hingga tahun dua ribu sembilan, aku belum pernah mendengar istilah tentang level pedas pada suatu cemilan atau makanan. Kalaupun sudah ada, ya mungkin karena aku sendiri yang kuper. Terlalu lama bersembunyi di bawah ketiak Paijo. Atau mungkin Paijo sendiri sudah tau dan lupa menyampaikan beberapa dari kemajuan istilah baru pada kuliner.

Dulu Paijo yang sering aktif belanja cemilan atau makanan ringan di kos. Yang selalu kuingat adalah biskuat, aku heran dan terkadang sering bertanya. Apa mungkin Paijo berpikir dengan biskuat tubuhnya bisa menjadi Gatotkaca, yang terkenal dengan jargon otot kawat tulang besi. Mudah-mudahan salah pikiranku ini.

Aku sendiri lebih memilih cemilan canghae merah, kalau istilah jawanya kacang atom pedes. Menurut ku lebih cocok untuk melek'an malam hari minimal nggak gampang hangoup (ejaan jawa) apalagi ditemani dengan kopi hangat dan sebatang tembakau skm. Kalau sudah begini bisa berjam-jam melek'an lupa semua urusan kuliah dan tugas-tugasnya.

Tapi suatu ketika, aku dan Paijo sepakat untuk melek'an saat padang mbulan tepat tanggal lima belas di kalender jawa. Agar betah melek'an Paijo pun banting stir soal cemilan. Dengan membeli kripik singkong dengan campuran pedas boncabe. Dan bincang-bincang malam pun terjadi,

"Cak..."

"Heemmm..." jawab ku

"Saumpomo yo... ujug-ujug..."

"Numpak sepur ta jo..."

"Sik talah cak... sinau'o menghargai pendapat po'o"

"Heu.. heu... yo... yo jo... sepurane... sepurane..."

"La ono wong berpendapat ki ojo disenggah, ngurangi arti dan pemaknaan"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline