Lihat ke Halaman Asli

Ya Allah, Tak Patutkah Aku di Cintai...?

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1366734230448971805

Butiran debu jalan riuh mengejarku. menyisakan jejak jelaga pada wajah dan sehelai jilbab putih yang menjuntai ringan menutupi kepalaku. Sekelompok daun kering tertawa renyah dalam gurauan kemarau di tengah hari yang menyengat.

Aku masih berdiri di halte depan kampusmu, menunggu sosokmu lewat tertangkap oleh mataku. Karena hanya itu yang bisa kulakukan. Untuk tetap menantimu di sini sekalipun kau tak pernah menyadari. Berusaha setia pada waktu yang terus bergulir menyisakan setitik kisah romantis untuk perjalanan hidupku yang terlampau singkat.

“Halo...ke mana aja sih kamu? Kok nggak pernah telepon aku lagi? Kamu sibuk ya?” tanyamu suatu hari kala kaudapati aku tak meneloponmu dalam kurun waktu lama.

Aku hanya terdiam dalam beku, menelan ludah berulang-ulang yang terasa semakin pahit. Namun, aku tahu kau tak boleh mengetahui riuhnya keluhan dan kepedihan di hatiku. Kau hanya boleh tau keriangan dan kegembiraan yang selalu kusuguhkan padamu. Karena hanya dengan itu tetap mempertahanku sebagai sahabatmu.

“Ya,, gitu deh. Aku lagi sibuk negrjain tugas. Banyak tugas penelitian nih akhir-akhir ini,”, kataku berbohong.

Dan seperti biasa kamu asyik bercerita tantang kuliahmu, dosen, dan teman-temanmu. Lalu, sedikit terselip sekilas tentang seorang wanita adik kelasmu yang kamu bilang sangat cantik seperti bidadari. Berkulit putih, bermata cokelat dengan hidung mancung sempurna. Seorang gadis berparas ayu dengan selembar jilbab yang menjuntai lugu di kepalanya.

Apakah kamu tahu kalau saat itu hatiku terasa pilu, seolah ratusan sembilu berebut menggores gumpalan hatiku? Perlahan air mataku menetes satu-satu. Membasahi lantai yang beku. Dan, aku kian meringkuk dalam kedukaan yang panjang. Kutarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Maksudku agar kamu tidak mendengar dan tetap bercerita padaku.

“Sepertinya, kamu tertarik dengan adik kelasmu itu?” tanyaku berusaha sewajar mungkin.

“Ehm... aduh, aku jadi malu. Tapi. Sepertinya begitu. Tapi.... rasanya nggak mungkin aku jadian sama adik kelasku itu.. nggak mungkin.” Nada suaramu memelas dan seperti ada segumpal luka dari hatimu yang tengah berbunga.

Aku menghela nafas untuk kesekian kalinya. Berusaha menutup rapat lukaku dan lebih berempati pada lukamu.

“Kenapa kamu bilang begitu? Apa dia tidak mencintaimu?” tanyaku lugu.

“Ah... aku nggak tahu. Sudahlah... kita ganti topik saja. Malas aku ngmongin ini lagi”.

Kamu selalu begitu, segera berpindah haluan saat aku mulai belajar untuk mengerti. Kamu teramat cepat dan aku begitu lambat. Mungkin ini yang menyebabkan kamu masuk fakultas kedokteran dan aku masuk fakultas sastra.

“Win, kenapa sih kamu nggak mau ketemu?” tanyamu suatu hari masih melalui telepon. Karena memang selama ini kita bersahabat hanya melalui telepon. Karena, memang selama ini kita bersahabat hanya melalui telepon.

Aku mengenalmu dalam sebuah seminar pergerakan dakwah Islam. Saat itu, aku dimintai bantuan oleh kegiatan rohis kampusuntuk membantu seksi dokumentasi. Semua terkait erat dengan hobiku yaitu editing dan bikin film dokumenter. Dan saat itu kau duduk sebagai peserta.

Aku begitu mengagumi pemikiran dan ide-idemu tentang sebuah dakwah pergerakan. Selain itu, kamu juga sesuai dengan tipe laki-laki idamanku yang tinggi, kurus, berhidung mancung, beralis tebal, memiliki sepasang bibir ranum, berahang kokoh, berkulit putih bersih, berambut hitam legam, berkacamata, dan cerdaas tentunya. Waw.. lebih tepatnya waw..waw..waw..

Entah mengapa, kala itu aku yang terkenal pemalu, memberanikan diri menelponmu dengan mengaku sebagai panitia. Dan, kamu begitu penasaran padaku. Kamu berusaha mencari tahu siapa aku. Tapi itu sia-sia, karena aku tak pernah ada dalam susunan kepanitian. Aku hanya manusia dibalik layar, menatap dibalik layar, menatapmu tak berkedip melalui layar monitor di balik panggung. Dan, aku begitu terkagum-kagum,

Akhirnya, kamu merasa begitu lelah meminta, bahkan memohon padaku. Namun, aku tetap bersikeras tak mau menemuimu. Apa kamu tahu bahwa sejak pertama aku mengenalmu telah tumbuh dengan perlahan tanaman cinta yang menyusup lembut merambahai tiap lahan dalam hatiku?

“Perempuan itu harus berjilbab.” Begitu katamu suatu hari ketika kau bertanya apakah aku sudah berjilbab dan aku bilang belum.

Kamu mencaramahiku tentang kewajiban menutup aurat bagi kaum wanita lengkap dengan hadits dan ayat-ayatny. Aku begitu terkesima dan kekagumanku padamu semakin menggungung. Setelah hari itu, aku langsung, mengambil beberapa jilbab ibuku dan memakainya di kepala.

“Ehm, aku cantik juga dengan memakai jilbab seperti ini”. Gumamku. Aku bilang pada ibu bahwa aku ingin sekali memakai jilbab. Ibuku sangat senang dan segera membelikanku jilbab dan memberiku pakaian muslimah miliknya untuk menutup aurat.

“kamu itu harus pakai kaus kaki. Kaki itu kan aurat juga.” Tak pernah kulupa setiap kata dari nasihat yang kau berikan padaku. Dan keesokan harinya aku langsung memakai kaus kaki dan pergi berangkat kuliah.

Aku ingin sekali dan melaporkan semua perubahan diriku. Agar kamu senang bahwa semua yng kau ajarkan langsung kupraktikkan. Namun aku begitu malu. Aku selalu merasa tidak pantas bertemu denganmu. Perbedaan kita terlalu jauh dan aku tak pernah ingin berlari menggapainya. Aku cukup bahagia bisa selalu memimpikanmu meski dalam kepedihan mendalam.

“Aku patah hati,” katamu suatu hari.

“Kenapa?” tanyaku cemas.

“Adik kelasku dilamar oleh temanku sendiri,” katamu terbata.

“Dan dia menerimanya?” tanyaku penasaran.

“Aku belum tahu.Tetapi, itu melalui perjodohan. Maksudku, mereka dijodohkan oleh guru ngaji temanku yang notabene kakak kandung adik kelasku,” katamu muiali menguasai diri.

“Kamu terluka?” kataku perlahan dengan penuh kekhawatiran.

“Ya... aku ingin kamu ada disisiku,” ucapanmu terdengar lemah dan sangat putus asa.

“Itu tidak mungkin. Bukankah kita bukan muhrim? Dan katamu, dua manusia yang bukan muhrim tak boleh berduaan,” kataku tertahan.

“Ya itulah sebabnya aku tak lagi memaksamu untuk menemuiku. Mungkin lebih baik kita tidak pernah bertemu agar kita tetap bisa menjaga diri dan hati.”

Ada rasa sakit yang begitu menusuk kalbu. Membuatku terisak dalam beku. Mungkin hatimu tetap dapat terjaga, tetapi tidak dengan hatiku. Kamu tidak pernah tahu jika aku rindu padamu, maka aku akan pergi kekampusmu. Duduk diam diperpustakaan, menyamar menjadi mahasiswa kedokteran. Berharap kau atang dan aku bisa melihat wajah tirusmu yang outih bersih. Aku menunggumu begitu setia. Dalam hitungan detik menit hingga jam, aku tetap terpaku di depan literatur kedokteran yang tak pernah aku mengerti. Akhirnya, aku datang dan aku mengintipmu dari balik buku literatur yang pura-pura kubaca.

Kadang kau datang bersama beberapa temanmu, duduk berkelompok dan mendiskusikan sesuatu. Atau kamu sekedar mampir mengembalikan buku, berhaha-hihian sebentar, lalu berlalu tanpa melihatku sedetikpun.

Pukul tiga dini hari aku terbangun oleh rasa sesak yang teramat. Seolah kerinduanku padamu telah melampaui batas kewajaran. Sebuah kegilaan yang perlahan membuatku mati tertahan. Segera aku berwudhu dan melakukan shoalt sepertiga malam. Air mataku menelaga, menyisakanj sesak yang teramat. Menagapa aku harus jatuh cinta padamu? Mengapa ada sepotong cinta yang singgah dihatiku? Sebuah tanya yang mungkin tak terjawab yang membuatku nelangsa seorang diri. Tertugu diatas sajadah coklat saksi dari tiap tetes air mataku.

Ya, Allah, tak patutkah aku dicintai? Kadan terlintas dalam benakku pertanyaan besar seperti itu. Tidak pantaskah aku untuknya? Apakah takdirku adalah hidup seorang diri? Lalu setelah itu, aku tersenyum, bahkan sering juga tertawa seorang diri. Yah, aku pikir pertanyaan itu terlalu berlebihan.

Bukan seperti itu kan yang sesungguhnya terjadi? Aku pulalah yang sangat takut jatuh cinta hingga kulindungi hatiku sedemikian rupa agar tidak terluka. Tetapi apa yang terjadi? Aku justru melukai hatiku tanpa henti.

Aku menyudahi sholatku dan segera merebahkan tubuhku. Bairlah aku bertahan tidak tidur hingga azan subuh berkumandang. Kuraih mushaf kecil diatas meja dan segera menekurinya dengan tartil. Deras air mataku mengalir membaca ayat ari firman-mu

“Aku sudah memutuskan untuk melamar adik kelasku.”

Kau mengatakan itu semalam ketika aku meneleponmu karena rindu.

Aku menelan ludah yang terasa sepahit empedu. Sudut mataku menghangat, kutahan sebisa mungkin agar tak muncul isak tangis yang akan membuatmu curiga. Kuatur nafas dengan tenang, berharap kau tak menangkap isakanku selembut apapun.

“Ehm... syukurlah. Akhirnya kamu berhasil meraih cita-cita besar yang sejak dulu kau impi-impikan,” aku berujar seriang mungkin dibumbui sedikit gelak tawa.

“Alhamdulillah, Win. Buatku, ini merupaka anugerah terindah.” Kau berkata penuh semangat sambil menghela nafas panjang, seolah terbayar semua jerih payah dan perjuanganmu selama ini.

Aku menyimak kata demi kata yang terdengar begitu merdu. Tanpa kurasa menelaga sudah air mataku. Kubiarkan ini terjadi karena aku berharap ini adalah pedih yang terakhir. Pedih penghabisan yang selanjutnya tak akan ada lagi luka-luka susulan.

Sebuah gedung mewah berkapasitas seribu orang telah tertata apik. Pelaminan bernuansa internasional bertemakan living room nuansa biru muda ditingkahi aksen perak dengan dekorasi ala Eropa tampak begitu sempurna. Bunga-bunga Mawar dan lili turut menyempurnakan dekorasi gedung megah tersebut. Aku berjalan diatas hamparan permadani berwarna biru tua, berada dalam barisan para undangan yang hendak mengucapkan selamat menuju pelaminan.

Tinggal sekitar lima meter lagi, aku tiba di panggung pelaminan. Jantungku berdegup kencang, aliran darahku seolah terhenti. Tanpa kusadari, aku bergeser dan keluar dari barisan. Dengan jarak lima meter itu, aku berdiri di hadapun-mu. Tepat segaris denganmu. Tak berkedip kupandangi kedua mempelai dihadapanku.

Kamu benar. Adik kelasmu itu secantik bidadari surga. Dia terlihat anggun memesona dengan gaun biru beraksen permata warna biru. Jilbab abu-abu terjuntai menutupi dadanya, sebuah mutiara mungil berwarna perak berhiaskan permata indah berkilauan menambah sempurna kecantikan alami yang dipoles dengan make up tipis memesona. Kulihat kamu begitu bahagia, menyalami setiap tamu dengan senyum merekah. Terkadang kau memeluk tamu itu,merangkulnya, bicara beberapa kata, lalu tertawa. Kebahagianmu yang berlimpah benar-benar membuatmu tak menyadari ada seorang wanita berdiri tepat dihadapanmu, hanya berjarak lima meter dari singgasana pelaminan. Aku berdiri teapt di sebelah fotografer. Atau , jangan-jangan kamu mengira aku asisten fotografer?

Ah, aku tersenyum getir di antara kebahagiaanmu yang membuncah hebat. Dia antara tawa dan senyum indahmu yang teramat memesona. Diantara ribuan orang yang riuh bersenda gurau, larut dalam kebahagiaan, aku menangis dalam hati. Ini adalah akhir dari permainan yang kumulai sendiri. Permainan hati yang sejak awal aku tahu tidak diperkenankan dalam Islam. Namun, aku tetap melanggarnya. Memanjakan nafsuku dengan riak-riak asmara.membiarkan hatiku pergi mengembara dalam belantaran cinta.

Aku tegak berdiri. Seolah seluruh persendianku kaku hingga membuatku berdiri mematung. Sekuat tenaga kutahan air mataku yang hampir luruh. Entah berapa lama aku berdiri mematung di hadapanmu. Seolah hati kecilku berbisik. "ini adalah hari terakhir kamu menemuinya. Esok, lusa, dan seterusnya kamu sudah harus menghapus namanya dari tiap sisi ruang dalam hatimu," Tanpa sadar, aku mengangguk. tiba-tiba kekuatan selah mengisi tiap persendianku. Kesadaranku muncul, walau terlambat. Tekad bulatku melupakanmu memberikan energi ekstra untuk berdiri tangguh menghadapi dirimu.

Dengan langkah pasti aku menaiki tangga pelaminan. "Haykal, selamat ya. Aku Wina, sahabatmu," kataku sambil menyunggingkan senyum paling manis sedunia. kulihat dirimu terkesiap, lalu memandangku lekar, seolah kau ingin berkata, "Wina, jangan pergi dulu. Aku rindu...." fuih, geer-ku mulai lagi. Namun, aku masih saja memandangku. Bahkan ketika aku mulai menuruni anak tangga pelaminan, kau masih saja memandangku.

Aku berjalan menuju pintu keluar. Sebelum benar-benar keluar, aku menoleh untuk memandangmu terakhir kali. Begitu aku menoleh, kulihat kau melambaikan tangan. Seolah-olah sejak tadi kamu memang harap-harap cemas menungguku untuk kembali menoleh. Lambaian tanganmu memintaku kembali. Namun, aku segera membalas lambaian tanganmu dengan menggerakan telapak tanganku kekanan dan kekiri. Itu berarti aku akan pergi selamanya dari kehidupanmu.Mungkin aku akan jera untuk kembali bermain cinta. mungkin untuk beberapa bulan, bahkan tahun. Tapi, aku yakin aku akan kembali jatuh cinta. Dan, untuk cintaku yang kedua, akan kuminta Allah membantuku mengemas sebuah cinta suci menjadi lebih mulia.

Menjadikan cinta sebagai fondasi rumah tangga yang kokoh mengakar jiwa. Ya Rabbana, jangan pernah berhenti mencintaiku karena hanya Kaulah Zat Maha Agung yang mencinta tanpa pernah meminta...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline