Lihat ke Halaman Asli

Selama Ratusan Tahun, Kami Menderita Tuli-Bisu...

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignleft" width="231" caption="Gerbang desa Bengkala"][/caption]

Adalah hal mengejutkan ketika mendengar sebuah desa yang dijuluki desa bisu. Letaknya di kawasan Bali Utara, tepatnya di kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Setiap  keluarga di desa tersebut selalu ada keturunannya yang menderita bisu-tuli. Desa tersebut adalah Desa Bengkala.

Katakanlah Made Tista (43) misalnya, hidupnya berlangsung normal meskipun seluruh keluarganya menderita bisu tuli. Bukan hanya Tista dan Sukreni, istrinya, yang kolok sejak lahir. Ayah, ibu, dan dua saudara kandungnya juga menderita tuli dan bisu. Tiga mantan istrinya, dua anaknya, dan kedua saudara ipar Tista juga orang kolok.

Bisu-tuli bukanlah perkara besar bagi Tisna dan keluarga. Menurutnya, ini buan aib yang perlu disesali. Fenomena ini memang bukan hanya akrab bagi keluarga Tisna. Selama ratusan tahun, Bengkala dikenal sebagai tempat yang banyak dihuni orang bisu-tuli. Sekitar dua persen atau 50 orang dari total 2.226 penduduk Bengkala menderita tuli-bisu. Sebuah angka yang amat tinggi, mengingat normalnya bisu-tuli bawaan (kongenital) hanya terjadi pada satu dari 10 ribu kelahiran.

Interaksi khas yang terjadi di Bengkala, adalah munculnya bahasa isyarat lokal yang sangat sederhana dan mudah dipahami. Menjadikan keharmonisan hubungan komunikasi yang baik antara warga normal dengan warga kolok.

Berdasar pohon silsilah lima generasi yang ditelusuri dari berbagai dokumen berbahasa Sanskerta abad ke-13 diketahui, bahwa kolok Bengkala bersumber pada mutasi genetis. Namun, masih dipertanyakan kapan dan siapa yang pertama kali mengalami mutasi gen. Hal ini yang nantinya merupakan rangkaian kode penentu sifat yang diwariskan turun-temurun.

Sebetulnya, tak jadi soal jika seseorang hanya membawa satu gen ketulian. Pendengaran orang tersebut masih tetap normal. Namun, masalah akan timbul jika lelaki dan perempuan normal pembawa satu gen D ( bersifatcarrier) menikah. Secara teoretis, pasangan ini pada setiap kelahiran punya kemungkinan 25 persen melahirkan anak yang normal, 50 persen anak normal pembawa gen ketulian, dan 25 persen anak yang kolok. Ketulian jadi kian luas jika anak-turun pembawa gen ketulian saling kawin. Hal inilah yang terjadi di Bengkala selama ratusan tahun karena orang kolok susah mendapat pasangan yang normal.

Piawai menari

Bisu tuli boleh mengisolasi mereka dari dunia luar, namun orang-orang kolok ddi Bengkala rupanya memiliki ketrampilan masing-masing. Orang-orang kolok di Bengkala kebanyakan adalah rajin bekerja. Bahkan, banyak di antara mereka yang bekerja di sawah, memelihara sapi, serta sejumlah pekerjaan lainnya. Selain itu, ada kelompok warga bisu-tuli yang piawai menari janger. Semua personil grup tari janger tersebut menderita tuli bisu. Lalu, bagaimana mereka menari dengan keadaan tuli?

Walau mereka tidak bisa mendengar alunan musik tarian, ternyata mereka telah dilatih untuk  melihat aba-aba tangan dari penabuh gendang. Dengan demikian tak heran jika kelompok tari janger kolok ini kerap mendapat undangan menari di hotel-hotel dan acara-acara nasional. Bila berkunjung ke Bengkala, setiap sore dapat disaksikan para kolok berlatih tari janger.

Ada satu hal yang bisa dipetik dari warga penderita kolok ini, bukan dari keunikan desanya. Kreativitas yang bisa terlahir dari orang – orang yang mempunyai keterbatasan fisik namun mampu menghasilkan karya yang tidak kalah hebat dengan orang – orang normal.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline