Selama ini saya tidak pernah merasa suka konsep reuni. Itulah sebabnya tak pernah saya datang ke acara reuni sekolah atau kampus. Paling-paling hanya datang ke pertemuan kembali teman-teman dekat/se-gank atau Home Coming kampus yang tidak secara ketat diartikan sebagai reuni yang kerap bersifat lebih terbatas, baik waktu, tempat, pun pesertanya.
Ketidaksukaan saya pada reuni terkait langsung dengan ketidaksukaan mengenang-ngenang hal yang sudah berlalu. Dan di dalam penilaian saya, itulah yang akan jadi unsur utama acara reuni, sebab atmosfer yang terbangun –sejak timbul ide menyelenggarakan atau mengikuti acara reuni hingga puncaknya saat acara berlangsung— sudah memerangkap para partisipan dalam aroma masa lalu. Atmosfer itu tentu saja tercuat dari interaksi antarpartisipan (baik interaksi imajiner yang terkait dengan kenangan maupun interaksi nyata) yang merupakan orang-orang saling kenal di suatu periode lalu –meskipun seringkali harus diingatkan kembali karena waktu dan pengalaman-pengalaman yang kemudian sanggup menghapus pengalaman sebelumnya.
Selain tidak suka mengenang pengalaman masa lalu, ketidaksukaan saya pada acara reuni juga karena merasa belum berada pada puncak kesuksesan, cita-cita belum tercapai, atau merasa belum menjadi ‘somebody’. Itu alasan berikutnya.
Namun, kali ini, surprised...! Saya sendiri merasa terkejut pada perubahan yang terjadi dalam diri: Saya tidak menjauh dari undangan reuni. Malahan menyambutnya. Meskipun tidak serta-merta. Sebab kali pertama dengar info reuni, terlintas dalam pikiran, bahwa ini ‘gangguan’. Gangguan terhadap kesibukan masa sekarang yang sedang dilakukan. Gangguan terhadap program pribadi yang sedang dengan semangat-semangatnya –barangkali sudah masuk hitungan cenderung ambisius—dikerjakan. Lalu, apakah gangguan ini akan diberi tempat, atau dilewati saja?
Bagaimana jika dilewati saja? Toh saya tidak pernah suka ide reuni. Tapi, baru-baru ini, ketika orang-orang terdekat mengalaminya dan menceritakan pengalaman reuni mereka kepada saya, timbul keinginan untuk mulai merasakannya juga.
Nah, lalu bagaimana jika memberi tempat pada ‘gangguan’ ini? Toh hanya 1 hari, saat acara, atau setidaknya 2 hari dengan hari pendaftaran plus tetek-bengeknya (meski di waktu kemudian baru tersadar bahwa reuni meminta lebih banyak waktu. Dan media sosial adalah satu-satunya perpanjangan tangan interaksi sejak sebelum dan sesudah hari-H reuni. Setidaknya hingga beberapa hari setelahnya). Hm....
Baiklah. Akhirnya saya tetapkan saya akan memberi tempat pada gangguan ini. 1-2 hari tersita khusus untuk ini bukan masalah. Saya ingin merasakan sendiri, bagaimana rasa reuni itu. Selamat datang, hai reuni! Saya pun membuka diri. Wow, amazing, akhirnya saya mau ikut reunian!
Sebetulnya apa sih yang jadi penyebab paling dasar terjadinya perubahan sikap ini? Saya bukannya tidak tahu apa penyebabnya, tetapi waktu atau momen terjadinya perubahan drastis inilah yang saya rasa tidak bisa diprediksi secara tepat.
Dan mengenai penyebab ..., bukan, ternyata ini bukan masalah sudah sukses atau belum, bukan pula lantaran ingin berjumpa dengan orang-orang tertentu yang pada masa lalu dianggap istimewa atau pernah singgah di hati (ehm!). Namun, –percaya atau tidak— ini menyangkut keinginan untuk mengetahui perubahan yang terjadi! Ya, PERUBAHAN. Setelah sekian lama tidak bertemu dengan orang-orang yang pernah dengan intens berjumpa di waktu lalu, tiba-tiba saja muncul keinginan untuk mengamati. Mengamati apa-apa yang telah dilalui atau dilibas oleh sekian panjang dan besar waktu. Keinginan menyaksikan. Kemudian mencatat dan mempelajarinya. Itu saja.
Apa yang kemudian terjadi ketika hari pertemuan itu tiba?