Lihat ke Halaman Asli

Redupnya Aroma Bali

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Redupnya Aroma Bali

Panggung utama Sanur Village Festival. Foto-foto: Henny Purnama Sari.

Di siang yang terik saya berencana mengunjungi Pantai Mertasari, Sanur, Bali. Saya ingin melihat dari dekat Sanur Village Festival yang sedang diselenggarakan di lokasi itu. Dari hotel tempat saya menginap, Inna Grand Bali Beach, hotel pertama di Sanur yang dibangun oleh Soekarno pada 1960-an, jaraknya tidaklah begitu jauh. Usai menghadiri International Congress on AIDS in Asia and the Pacific (ICAAP) IX di Bali sebagai delegasi media pada Agustus 2009 lalu, saya dan seorang rekan penasaran ingin mencoba menumpang bemo. Menurut informasi yang kami peroleh, angkutan kota yang dicat hijau tua itu punya rute ke arah Pantai Mertasari. Tidak seperti di kota lain, seperti Jakarta atau Depok, dimana penumpang harus maklum apabila supir memutuskan untuk mangkal lama menunggu kendaraannya penuh, kendaraan jenis Daihatsu minibus keluaran tahun 1980-an yang setiap hari mangkal di depan gerbang hotel ini langsung jalan. Pada perempatan di mana berdiri Kentucky Friend Chicken (KFC) yang berseberangan dengan Dunkin Donut di jalan Hang Tuah, Sanur, supir bemo ini mengambil jalan ke kiri, lurus terus, dan pada perempatan pertama yang ditemui, kami berbelok ke kiri. Ini masih jalan raya. Saya pikir ketika itu tidak lama lagi pastilah kami bisa melihat pesisir pantai, meski dari jarak pandang yang lumayan jauh. Tapi ternyata itu tidak kami alami. Setelah belok kiri itu, kami masih harus menelusuri jalan berbelok-belok yang di kiri-kanannya berbaris berbagai hal yang cukup menghibur mata. Berbagai toko, galeri, kafe, dan penginapan seolah menyapa dengan senyum menyejukkan di musim panas yang cukup menyengat di Bali. Dari dalam bemo saya melihat tempat-tempat itu ditata rapi dengan ukuran seperti rumah tinggal, mungil. Hampir tidak ada bangunan tinggi atau bertingkat-tingkat. Umumnya, bangunan bertingkat hanya dibangun dua lantai, dan itu pun berkesan hommy. Seketika saya membandingkan antara apa yang ada di depan mata dengan sepanjang wilayah Kuta yang padat oleh gedung-gedung lebih besar dengan desain modern hingga kontemporer di kiri kanan jalan. Terang-benderang, dinamis, dan dari tahun ke tahun makin tidak beraroma Bali dalam konsep wisata budaya. Dari liukan jalan yang satu ke liukan lainnya, Sanur terasa begitu teduh dan damai. Model bangunan modern yang sederhana berpadupadan sentuhan tradisional pulau para dewa ini. Penginapan yang ada di sini pun terlihat lebih sederhana dan asri dengan atmosfer rumah tinggal. Lampu-lampu yang terpasang terkesan amat ramah di mata. Tidak ada yang mencolok. Keseluruhannya tampak lebih lembut daripada Kuta atau Denpasar. Di sepanjang jalan ini, mata saya juga awas mencari tempat berfasilitas hotspot. Sepertinya sulit saya menemukan tempat untuk mengakses internet itu. Tapi suatu ketika rekan saya menunjuk sebuah tempat bertuliskan kata hotspot. Tapi kata itu menjurus pada sebuah harga. Setelah “pengembaraan” di jalan-jalan Denpasar dan sekitarnya, kami menyimpulkan bahwa free hotspot di Bali tidak dianjurkan ada. Hanya di tempat-tempat tertentu berskala internasionallah yang sudah punya ketentuan seperti itu. Free hotspot juga bisa ada di kafe-kafe tertentu yang memiliki standar harga di atas kantong orang lokal, seperti yang banyak saya jumpai di Ubud. Saya baru menyadari bahwa ini pastilah terkait dengan pemosisian Bali sebagai daerah wisata. Berbagai sektor diupayakan punya potensi untuk menjadi ladang pemasukan uang bagi wilayah atau masyarakat setempat. Termasuk pihak-pihak tertentu yang memiliki layanan hotspot. Ini memang kreativitas. Tetapi bukan dari sisi seni-budaya, melainkan ekonomi. Hal ini merupakan salah satu sisi positif pariwisata, yakni menggiatkan aktivitas ekonomi masyarakat, meski sebetulnya masyarakat setempat, khususnya penyedia konten budaya yang dipertunjukan, berhak memperoleh pemasukan berlipat. Di sinilah sisi negatif itu, di mana para pengelola pariwisata kurang melibatkan masyarakat budaya dalam menyusun agenda wisata. Saya masih di bemo, dan kini sudah tiba di jalan masuk menuju pantai. Pepohonan tinggi di kiri kanan jalan memberi perlindungan dari sengatan matahari. Rp 15.000 untuk dua orang harus saya keluarkan. Lumayan. Separuh dari ongkos taksi. Tidak sampai 100 meter dari gerbang jalan tadi, di sebelah kanan saya, berderet beberapa orang untuk memasuki gerbang festival. Beberapa waktu belakangan, seluruh tempat-tempat aktivitas di Bali, terutama hotel dan perkantoran, dijaga berkali lipat untuk mengantisipasi tindakan yang dapat dikategorikan teror. Tidak terkecuali untuk masuk ke arena acara festival ini. Bukan dengan karcis, tapi cukup serahkan barang bawaan untuk diperiksa. Saat melalui pintu pemeriksaan, mata saya langsung disambut puluhan tenda yang dibangun di sebagian daerah pantai Mertasari, sekitar 500 meter dari bibir pantai. Di sinilah berkumpul banyak instansi dan organisasi dengan bermacam usaha dan aktivitas. Beragam restoran, kafe, usaha kerajinan masyarakat, dan industri rumahan tampil dari berbagai daerah di Indonesia. Ada pula stand dari 10 negara Asia Pasifik yang menjadi partisipan dalam acara tahunan yang telah diselenggarakan untuk keempat kalinya ini. Di lokasi ini serangkaian lomba, seperti kuliner, bonsai, kerajinan tradisional, dan pertunjukan. Sedangkan aktivitas yang berkaitan langsung dengan medium laut, seperti lomba jukung atau alat transportasi laut tradisional dan olahraga pantai, dilakukan langsung di laut Mertasari. Tahun ini, Sanur Village Festival diikuti oleh 35 negara. Aktivitasnya mulai dari QuadrathonGolf Turnamentberhadiah dua buah mobil dan Rp 100 juta, Asian Beach Games, lomba memancing profesional, Performing ArtArt InstalationCartoon ExhibitionJazz FestivalFood FestivalBazaarFood HeritageCulinary ChallengePhoto Rally & Photo ContestSeawalker & Coral PlantationCultural ParadeFun Games. Kegiatan kegiatan berbasis lingkungan juga ada di sini, seperti penanaman mangrove, pelepasan penyu, dan beach clean up campaign. Betapa tidak mudah saya menghirup bau Bali pada serangkaian acara di atas. Dan betapa mudahnya aktivitas tersebut diselenggarakan di sembarang lokasi; hanya dengan melekatkan syarat punya pantai cukup indah dan area luas untuk menyelenggarakan serangkaian acara. Jika di jalan tadi saya dengan gampangnya menangkap perbedaan Sanur dan Kuta, tidak demikian saat ini. Di acara festival ini saya belum menemukan Sanur. Apa yang menjadi ciri khas Sanur, menurut saya, tak betul-betul tampil. Andai yang dimaksud ciri khas adalah masyarakat nelayan dan kehidupan kelautan yang menjadi mata pencaharian dan serangkaian upacara yang dilakukan di laut atau di pantai, sayangnya tidak saya temukan. Semoga ini hanya soal waktu yang tidak tepat, karena saya ke sana pada siang hingga sore hari saja. Saat di sana, sejujurnya saya merasa hanya menjadi bagian dari keriaan festival, yang sebetulnya bisa saya dapatkan di pantai-pantai lain di berbagai sudut dunia. Saya akhirnya keluar, menuju pantai. Dan saya sempat terbelalak melihat layang-layang raksasa tiga dimensi (inflatable kite) atau layang balon tanpa rangka. Bentuk dan namanya beraneka: OctopusThree Low Bat(cumi-cumi), Cutle Fish, kuda laut, dan ada juga bentuk kendaraan roda empat.

Layang-layang tiga dimensi.

Selain itu, ada juga jenis tiga dimensi berangka. Salah satunya berbentuk sejenis biota laut setengah lingkaran yang dibuat sedemikian rupa sehingga memungkinkan angin untuk terus menerus membawanya beraksi ke sana ke mari dengan lincah. Bundar seperti roda, mirip paruhan ban. Dia beraksi dengan berputar seolah gasing. Sebentar tinggi, sebentar rendah. Bermacam warna jadi kulitnya. Seperti pelangi yang turun ke bumi. Saya akui, itu indah. Sedangkan layang-layang jenis dua dimensi di antaranya berbentuk simbol lokalitas, seperti barong, petruk, juga sapi ternak. Setelah merasa cukup menikmati gasing raksasa yang berotasi kencang itu, saya berjalan lebih jauh mendekati bibir pantai. Di sana kami melihat ratusan orang duduk bersimpuh di atas pasir pantai. Posisinya cukup santai. Dari informasi panitia, mereka sedang bersiap melakukan yoga massal. Wah… menarik juga mengajak orang banyak mencicipi olahraga spiritual itu. Semua pengunjung tanpa kecuali bisa ikut serta. Olah tubuh yang berkait erat dengan spiritualitas Timur ini digerakkan oleh sebuah organisasi pelatihan meditasi. Mereka membawa puluhan anggota berseragam jingga. Dua orang instruktur juga mengenakan seragam yang sama. Anggota kelompok ini berada pada barisan depan, disusul masyarakat umum dan anak-anak sekolah dasar hingga menengah. Mereka berseragam olahraga masing-masing. Karena tidak membawa matras untuk dapat bebas melakukan berbagai gerakan, saya hanya puas bergerak seadanya sambil selalu siap merekam adegan indah lewat kamera dari sudut depan barisan yoga tersebut. Tempat yang cukup strategis bagi saya untuk mengabadikan setiap gerakan dengan dilatarbelakangi langit cerah berlayang-layang unik berukuran raksasa. Hawa pantai memanjakan kulit dan rambut saya. Apakah hanya di Sanur adegan ini bisa didapat? Rasanya tidak juga. Tapi, biarlah sejenak saya nikmati elusan angin yang seolah ingin menghibur. Bali, sebuah sandiwara? Apa sesungguhnya yang melatarbelakangi orang-orang dari berbagai tempat yang jauh untuk mengunjungi suatu tempat saat berlibur? Jawabannya hampir selalu untuk wisata. Namun, mengapa sebuah lokasi masuk daftar pilih sementara yang lain tidak, meski boleh jadi jarak tempuh ke lokasi pilihan tersebut paling jauh dan lama? Mestinya ada yang ingin mereka ketahui dari daerah tujuan. Ada sesuatu yang mereka cari yang tidak dapat ditemukan pada lokasi lain. Dan pada Bali, sesuatu itu ternyata berhubungan dengan budayanya yang dianggap begitu eksotis, terutama oleh orang-orang Barat. Hasil beberapa penelitian dan survey memang menunjukkan bahwa sebagian besar wisatawan yang datang ke Bali termotivasi oleh keunikan budayanya (Ardika, 2004:23). Dalam rangka bertemu apa yang dicari, biasanya para turis telah siaga menyisakan ruang pemakluman agar bisa berlapang hati jika nantinya terlebih dahulu harus melewati beragam prosedur atau kondisi-kondisi yang tidak selalu memudahkan. Mereka harus mempersiapkan diri untuk tidak terganggu ketika fasilitas sehari-hari yang biasanya mudah didapatkan di tempat asal tenyata tidak dengan gampang mereka peroleh saat di lokasi berlibur. Namun, ketika ketidaknyamanan sudah menjadi gangguan, artinya sudah keluar dari ambang pemakluman para pendatang, bukan tidak mungkin mereka justru memangkas masa berliburnya. Khawatir dengan hal semacam itulah yang kiranya membuat pengelola pariwisata di Bali bergiat-giat membangun simbol-simbol kenyamanan. Penginapan demi penginapan mewah dibangun; kafe-kafe modern tersebar di sana-sini; bar; club; pusat perbelanjaan megah; dan sarana modern lainnya bertumbuhan bagai jamur di tempat lembab. Tindakan antisipatif seperti itu memang masuk akal. Namun bukan berarti harus dibesar-besarkan dengan aksi “memindahkan kampung halaman” para turis ke lokasi wisata yang mereka kunjungi. Ini sangat jauh dari efisien. Bahkan bertentangan dengan konsep dasar pariwisata Bali yang ada dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1974 (direvisi tahun 1991) tentang budaya lokal sebagai konten utama, yang membuat karakter pariwisata di negeri seribu pura ini adalah wisata budaya. Jauh sebelumnya, konsep dasar wisata budaya ini sudah sempat dipopulerkan oleh kolonial Belanda. Hal ini sebagai aksi perbaikan citra diri negara itu yang telah menguasai Bali secara keseluruhan pada 1908 melalui sebuah aksi penaklukan kejam yang dikecam dunia. Para intelektual negeri kolonial itu berupaya melestarikan tradisionalitas Bali dengan menulis berbagai literatur juga brosur promosi wisata tentang Bali dan budayanya secara rinci dan sistematik. Menurut Adrian Vickers, intelektual Australia dalam bukunya Bali: A Paradise Created, apa yang dilakukan oleh Belanda saat itu sesungguhnya hanya untuk menjual Bali sebagai produk pariwisata. Secara bertahap pembuktian akan hal ini dapat mulai dilihat dari pembangunan sarana-prasarana, seperti hotel Bali pertama di Denpasar oleh Maskapai Pelayaran Belanda pada 1925. Masyarakat Bali sendiri, oleh beberapa kalangan intelektual, diyakini telah mengadopsi pandangan bangsa luar tentang diri mereka. Pemosisian Bali sebagai negeri yang kaya budaya dan nilai tradisional memang ikut memicu satu titik kreativitas masyarakat lokal sendiri, seperti diciptakannya sejumlah gerakan dan jenis tarian baru untuk hiburan dan berlomba membuka sanggar seni dan pertunjukan yang berhubungan dengan kuantitas. Namun, sebagian kalangan juga menyayangkan munculnya tindakan berlebihan pada masyarakat dengan tujuan untuk dapat selalu dianggap kaya tradisi. Masyarakat mengukuhkan diri untuk senantiasa tampil tradisional. Menurut Kurnianingsih (2002) dan Ruastiti (2005), telah terjadi tindakan pura-pura atau simulacraatau sandiwara tradisi di sini. Inilah yang belakangan sering saya rasakan saat berhadapan dengan penawaran-penawaran produk wisata ketika sedang bertandang ke Bali. Makin lama makin tidak mudah bagi saya untuk merasakan sesuatu yang magis dalam Tari Barong dan Rangda, misalnya, atau Drama Calon Arang, atau juga Tari Legong Kraton. Saya juga perlu usaha berlebih jika ingin menyaksikan upacara Melasti atau Pecaru di tepi pantai. Sanur Marine Art, Harapan Bertemu Sanur Eksibisi seni rupa bertajuk Sanur Marine Art sedikit mengurangi kekecewaan saya atas redupnya aroma Bali. Perupa yang sudah dipilih itu diundang untuk merespons ruang-ruang publik di kawasan Sanur dengan karya maupun aktivitas artistik mereka. Konsep kreasi dan presentasi karya seni inovatif disesuaikan dengan situs-situs pantai dan laut serta panorama Sanur (site specific) dan yang memiliki kaitan visual dan fisik serta interaksi dengan lingkungan alam, masyarakat Sanur, dan peradaban kebudayaan yang berlangsung. Di antara karya rupa ini adalah instalasi “Perahu Harapan” mengenai kehidupan nelayan tradisional oleh Wayan Redika dan “Terjebak” mengenai polusi dari industri pariwisata yang mengancam kehidupan biota laut oleh IB Sutama. Tema yang sama juga dibuat oleh Himpunan Pelukis Sanur. Sementara itu, Lingkar Group lewat “Untitled” menampilkan kontradiksi dan ironi yang ada di Sanur sebagai perkampungan tradisional yang tiba-tiba harus menyiapkan diri untuk diakui memiliki standardisasi internasional. Asal Bunyi Group menampilkan perahu tradisional Jukung yang bermotif hijau tentara dan diberi judul “Local Heroes?”. Para seniman dari luar Bali, yakni Tisna Sanjaya (Bandung), Yani M. Sastranegara (Jakarta), dan Saiful Hadjar (Surabaya) lebih menggeluti tema universal mengenai lingkungan hidup, kelautan, dan perdamaian yang dikaitkan dengan Sanur sebagai melting pot; bertemunya orang dari berbagai latar belakang. Festival yang diselenggarakan di areal pantai seluas empat hektar ini memang sedianya ditujukan untuk lebih menggairahkan kepariwisataan; agar turis terus mengingat Sanur sebagai destinasi yang sepantasnya dimanfaatkan. Dan di luar karya para perupa itu, sungguh saya tidak dapat merasakan dengan utuh ruh Bali yang saya cari. Karenanya kemudian saya berusaha keluar dari festival map dan mengais-ngais hal-hal yang tidak bisa saya temukan di lokasi lain. Kembalikan tipat cantokku, eh, Baliku!

Ibu Dewi dan Ibu Kadek.

Horeee…. Meski sedikit dan ringan, akhirnya saya temukan juga hal yang tidak bisa ditemukan di tempat lain: hidangan warung makan koperasi Tuniang di samping lokasi festival. Warung mungil ini ditangani oleh dua ibu rumah tangga, Ibu Dewi dan Ibu Kadek. Saya memesan tipat cantokdan es daluman. Barangkali orang mengatakan tipat cantok ini gado-gadonya Bali. Meski mirip, tapi tidak terdapat sayur-sayuran hijau di dalamnya. Paling banyak tauge, seperti ketoprak di Jakarta, dan tidak memakai bihun. Semua bahan-bahan bersih, tertutup plastik bening, sehingga tidak dihinggapi lalat. Saya juga melihat proses pembuatan dan pelayanannya yang cepat. Dan ketika mencicipinya, ternyata tipat cantok koperasi Tuniang ini jauh lebih enak dari tempat hotel. Di sini saus kacangnya lebih kental, lebih segar dan bergizi sayur-mayurnya, juga pernak pernik lain seperti tempe, tahu, telur, dan ketupatnya. Semua segar dan padat. Sebelumnya, di dekat penginapan Inna Grand Bali Beach, hotel bintang lima yang selama tiga tahun sebelumnya berturut-turut menjadi venue Sanur Village Festival, saya sudah pernah merasakan tipat cantok ini. Tapi sungguh jauh di bawah standar rasa saya.

Tipat cantok Koperasi Tuniang.

Dari perjalanan ini, saya merasa eksplorasi karakter Bali, dan khususnya Sanur yang alami, harus diperbanyak dan diperdalam. Yayasan Pembangunan Sanur dan Walikota Denpasar yang menggagas acara Sanur Village Festival mungkin memiliki tujuan dan dasar yang mengikutsertakan pengembangan budaya lokal. Hanya saja, nilai lokalitas pada program-program festival yang cukup banyak itu belum berimbang. Masyarakat lokal belum dilibatkan secara signifikan dalam pengelolaan pariwisata. Untuk membangun brand yang lebih kuat, semestinya jangan ada lagi pematokan daerah pantai khusus untuk penghuni hotel. Sebab itu berarti mengurangi lahan tempat upacara keagamaan dan budaya setempat. Jangan ada lagi proyek ambisius seperti pembangunan hotel yang memusnahkan berhektar hutan di Bedugul tanpa sepengetahuan masyarakat setempat. Begitu juga rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang ditolak rakyat mentah-mentah lantaran dicurigai masuk dalam skenario penguasaan lahan untuk pengembangan resort yang terkesan cuma menghamburkan uang tanpa pengaruh apa-apa kepada masyarakat selain penurunan nilai tradisi dan budaya. Hal lain yang tak terlupakan adalah proyek ambisius Garuda Wishnu Kencana yang hingga kini terhambat penyelesaiannya lantaran berbagai kendala, termasuk protes keras masyarakat sekitar dan berbagai pihak pemerhati lainnya. Saya berharap, semoga tahun depan dapat lebih mudah merasakan Bali di Bali. Sanur dalam Sanur. Amin. Sumber: Ardika, I Wayan, “Pariwisata Bali: Membangun Pariwisata-Budaya dan Mengendalikan Budaya-Pariwisata”, dalam I Nyoman Darma Putra (ed.), Bali Menuju Jagaditha: Aneka Perspektif, Pustaka Bali Post, Denpasar, Bali, 2004. Kurnianingsih, A., “Jaringan Ekowisata Desa: Tradisionalisasi Diri Orang Bali di Tengah Modernisasi”, tesis S2 Program Studi Antropologi Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2002. Ruastiti, Ni Made, “Seni Pertunjukan Bali dalam Kemasan Pariwisata”, Bali Mangsi Press, Denpasar, Bali, 2005. Tulisan ini pernah dimuat di: http://www.lenteratimur.com/redupnya-aroma-bali/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline