Sekali waktu di lini masa satu media sosial, saya membaca status seseorang; "Kalau memang gendut, jangan marah dikatai gendut."
Banyak yang memberi komentar, sebagian besar setuju dengan pernyataan yang ditulis.
Agaknya, status itu berkaitan dengan video seorang ibu yang memarahi anaknya. Saya tidak tahu, apakah video yang viral beberapa bulan lalu itu hanya "settingan," atau memang kejadian nyata. Hanya saja, saya heran, kenapa banyak yang membenarkan. Bukankah ejekan seharusnya tidak didukung?
Katakanlah, seorang anak mengalami kelebihan berat badan dan diejek oleh teman-temannya. Apakah mesti orangtua membenarkan olok-olokan yang dilontarkan teman-teman anaknya, bahkan memarahi anaknya?
Sikap seperti itu bisa memperburuk keadaan anak. Alih-alih memotivasi untuk menurunkan berat badan, anak bisa merasa tertekan dengan ejekan dan keadaan tubuhnya. Jika situasi ini berlanjut terus, bisa-bisa memicu eating disorder.
Remaja dan Eating disorder
Usia remaja adalah masa yang labil. Perjalanan dari anak-anak menuju kedewasaan bukanlah proses yang mudah. Menurut penelitian, remaja banyak menderita gangguan mental, salah satu yang umum terjadi adalah eating disorder.
Eating disorder (gangguan makanan) adalah serangkaian gangguan mental yang ditandai dengan pola makan yang tidak sehat atau tidak wajar.
Penderitanya terus-menerus berputar di sekitar perilaku makan dan berat badan mereka. Orang yang mengalami eating disorder makan terlalu sedikit untuk memenuhi kebutuhan energi dan nutrisi mereka, atau makan lebih banyak dari yang tubuh mereka butuhkan.
Orang sehat dapat mengubah perilaku makan mereka kapan saja, sementara penderita eating disorder tidak bisa melakukan hal itu. Mereka biasanya memerlukan bantuan profesional untuk keluar dari masalah ini.