Kemarin saat memperhatikan bunga-bunga di halaman rumah, membuat saya teringat seorang guru Biologi saat di kelas 3 SMA, Pak Horas namanya (bukan nama sebenarnya). Pak Horas paling tidak suka melihat hiasan bunga palsu di atas mejanya. Bunga rumput sekalipun yang diletakkan di dalam vas bunga, beliau suka.
"Yang penting bunga asli." Begitu Pak Horas berkata menegaskan kemauannya.
Sebagai sekretaris kelas, saya dan sahabat sebangku, yang kebetulan bendahara kelas, secara otomatis (merasa) bertanggung jawab. Taplak meja yang bersih dan bunga asli dalam vas seperti sudah menjadi keharusan saat jam pelajaran Pak Horas. Kelas kami memiliki replika bunga dari kain. Pada jam pelajaran Biologi, bunga palsu ini saya simpan.
Kami juga tidak perlu mengeluarkan uang ekstra untuk membeli bunga segar saat Pak Horas mengajar. Beberapa tangkai bunga bisa dipetik dari halaman rumah, atau minta ke tetangga. Kalau lupa, kami petik bunga di halaman belakang sekolah.
Pak Horas ini salah satu guru yang menyayangi saya. Iya, ini bukan sekadar ge er. Beliau satu-satunya guru di sekolah yang memanggil saya dengan nama tengah, "Triana," benar-benar ingin beda dari guru lainnya.
Pak Horas pernah bergurau saat mengajar, dan bertanya, apa saya mau jadi menantunya.
Karena beliau suka berseloroh, saya jawab saja, "Nggak mau, anak Bapak bandel."
Pak Horas terbahak-bahak disambut tawa seisi kelas.
Meskipun saya salah satu murid kesayangannya, bukan berarti hukuman tidak ada. Beliau takkan segan memarahi murid di kelas.
"Triana, nilai ulanganmu turun. Makanya, jangan pacaran aja." Pak Horas menegur saya sambil membagikan hasil ulangan minggu sebelumnya.
"Huuu..." Teman-teman sekelas pun menyahut.
Saya menanggapi ucapan beliau dengan senyum-senyum bandel.
Saat mengajar, Pak Horas suka mengajukan pertanyaan tiba-tiba secara acak. Beliau akan berjalan dari lorong ke lorong di samping barisan meja. Jadi, siapa pun harus mengulang pelajaran sebelumnya dan siap-siap untuk ditanya.
Siswa yang tidak bisa menjawab, akan mendapat hukuman cubit pipi. Cubitan yang sebetulnya tidak menyakitkan sama sekali, tetapi memalukan karena tidak bisa menjawab pertanyaan.
(Sekarang, mungkin guru dilarang mencubit pipi muridnya.)