"Sudah seperti kapal pecah. Kapan kamu rapikan kamarmu, Elenya?" Mama berkata sambil melongok dari pintu yang terbuka hanya beberapa sentimeter.
"Nanti, Ma," aku menyahut singkat ucapan mama.
Kudengar langkah mama menuruni anak tangga menuju ruang tamu. Mama memang jarang mengomel. Sesekali dia marah melihat tingkahku, tetapi biasanya cuma sebentar. Atau mungkin mama capek berdebat denganku yang selalu punya kalimat panjang untuk diucapkan.
Aku sedang kesal karena penangkap mimpi, hadiah dari Mika entah raib ke mana. Sudah seminggu aku mencari ke seluruh ruangan.
Isi laci dan lemari di kamarku jadi korban dan teronggok di lantai sampai hari ini. Tetap saja benda yang begitu berharga bagiku itu tak sudi hadir di depanku. Padahal penangkap mimpi itu bukan barang kecil yang gampang terselip.
Penangkap mimpi itu adalah hadiah ulang tahunku yang ke 16 tahun. Mika sengaja datang di hari ulang tahunku saat liburan musim panas. Penangkap mimpi ini adalah penghubung hati kami yang terpaksa berjauhan. Mika mesti ikut dengan keluarganya pindah ke Kanada karena papanya harus pindah tugas ke sana.
"Suka? Ini asli dari pekerjaan tangan suku Indian." Mika mengatakan saat kubuka bungkus kado waktu itu.
Katanya, dia membeli langsung dari pembuatnya, saat mereka berjalan-jalan ke salah satu perkampungan suku asli Amerika. Penangkap mimpi ini begitu menarik perhatiannya.
Mika benar, aku juga suka sekali hadiah ini. Sudah hampir setahun penangkap mimpi itu tergantung di jendela kamarku.
Awalnya, penangkap mimpi dibuat oleh suku Ojibwe. Mereka percaya penangkap mimpi bisa menangkap mimpi-mimpi buruk di jaring-jaringnya. Jadi, hanya mimpi yang baik akan masuk. Mimpi buruk yang tersangkut akan hilang karena sinar matahari.