Masih ada tiga batang bunga matahari yang mulai merunduk, terangguk-angguk ditiup angin. Sebagian daunnya mulai nampak kuning kecoklatan. Aku tau, kau sangat menyukai bunga indah musim panas ini.
Kusampirkan rajutan rasa merah jambu pada dahan-dahan cemara. Tapi kau taksuka. Katamu, dahan-dahan akan patah menahan beban.
Kau duduk di bangku kayu coklat muda, matamu berkilat menahan gusar. Kibasan tanganmu membuat burung gereja menjauh ketakutan. Apa pun, sepertinya, membuatmu terganggu.
Ketika kugelar sehelai asa di sudut hatimu, kau bilang pelataranmu sudah penuh sesak. Takada lagi ruang kosong tersisa. Padahal aku hanya ingin piknik di tepi taman hatimu, merebahkan harapan yang mungkin takkan berbunga renjana.
Kutinggalkan segenggam bibit bunga matahari kesayanganmu. Ada binar suka yang kutangkap dari bola matamu. Tapi, aku tak membutuhkannya lagi.
“Aku pergi.” Pamitku tak berjawab.
Ekor matamu menatap punggungku, mengikuti langkahku yang semakin jauh, melintasi ilalang di tepi ladang batinmu yang terlihat kering. Sangat kering.
-------
Hennie Triana Oberst
De, 26.06.2021