Menjelang puasa Ramadan seperti saat ini, ingatan saya selalu ke masa-masa ketika masih tinggal di rumah orangtua, dan tatkala bekerja di kantor pertama.
Bertugas di perusahaan dari negara Asia selatan, membuat saya akrab juga dengan kuliner mereka. Setiap ada acara dari kantor, cita rasa asli makanan negara ini yang dihidangkan.
Sesekali jika bertanding ke bandara, saya mencicipi juga masakan catering dari pesawat yang baru mendarat. Membandingkan rasa autentik dari negara itu dengan rasa yang lebih dikenal di tanah air.
Kala Ramadan, kami sering berbuka bersama di kantor, sembari menunggu kemacetan Jakarta mereda.
Kedua atasan di kantor yang berasal dari Asia selatan juga bergabung. Keakraban di perusahaan ini mirip dalam satu keluarga besar.
Banyak kenangan yang tersimpan. Acap kali masakan bisa menghadirkan kembali potongan memori yang tersimpan dalam pikiran.
Beberapa hari lalu saya mencoba membuat sendiri Nasi Biryani. Masakan ini banyak dikenal sebagai salah satu kekayaan kuliner di beberapa negara.
Biryani yang merupakan nasi berbumbu ini sudah dikenal berabad-abad lalu. Konon, sering dihidangkan pada abad ke-16, di masa Kekaisaran Mughal, Pusat kekaisaran Mughal terletak di wilayah yang saat ini disebut India utara.
Wilayah kekuasaan Mughal membentang di hampir seluruh subkontinen India dan sebagian Afghanistan saat ini. Oleh karena itu, biryani bukan hanya menjadi makanan khas dari India.
Nama biryani berasal dari bahasa Persia, dari kata "beryan" yang artinya "digoreng", atau "dipanggang".
Hidangan nasi berbumbu ini paling sering disiapkan dengan ayam goreng, tetapi banyak juga yang membuatnya dengan campuran daging domba, maupun daging kambing.