Lihat ke Halaman Asli

Hennie Triana Oberst

TERVERIFIKASI

Penyuka traveling dan budaya

Apek Latang, Botot Penculik Anak

Diperbarui: 18 November 2020   17:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi koran bekas - foto: congerdesign/pixabay.com

"Apek Latang hoiii"

Itulah suara yang selalu kutakutkan sewaktu masih kecil. Suara dari seorang laki-laki tua peranakan, yang selalu berkeliling di wilayah tempat tinggal kami. Orang memanggilnya Apek Latang. Beliau adalah seorang pengumpul surat kabar dan majalah bekas, membeli kertas-kertas bekas dari rumah ke rumah.

Botot, begitu kami di Medan menyebutnya, orang yang bekerja mengumpulkan barang-barang bekas. Istilah botot ini mungkin berasal dari kata butut.

Apek Latang secara berkala beberapa minggu sekali akan datang ke rumah kami, membeli majalah dan koran yang sudah tidak dibaca lagi. Kedua orang tua kami berlangganan beberapa jenis surat kabar dan majalah, jadi bisa dibayangkan banyaknya kertas yang menumpuk di rumah. 

Laki-laki tua ini selalu berjalan kaki dengan memanggul kayu yang di kedua ujungnya tergantung seutas tali yang terhubung pada keranjang anyaman bambu besar. Seingatku hanya beliau satu-satunya yang bekerja seperti itu, sementara botot lainnya mengendarai sepeda dengan membawa keranjang yang diletakkan di bagian boncengannya. 

Saban datang ke rumah kami, pasti dia mencari-cari aku. Katanya, dia mau menjadikanku sebagai anak angkatnya dan akan dibawa dengan keranjang besaranya. Menurutnya, aku cocok jadi anak Cina. Aku makin takut dan benci dengannya. Jika mendengar suaranya dari kejauhan, aku akan sembunyi di bawah kolong tempat tidur.

Ada kejadian yang takbisa kulupakan. Suatu kali aku ikut dengan ibu pergi belanja ke warung yang jaraknya sekitar 50 meter dari rumah kami. Ketika sedang berada di warung, tiba-tiba aku mendengar sayup-sayup teriakan "apek latang hoiii". Secepat kilat aku lari pulang sambil menangis, sendirian. Sampai di rumah aku sembunyi sambil memanggil-manggil ibuku.

Tak lama berselang ibuku pulang, memanggil-manggil namaku dan menangis. Beliau pasti panik ketika mengetahui anaknya tiba-tiba menghilang tanpa sebab. Mendengar suara ibu, tangisku pun menjadi-jadi. 

Ibuku bertanya kenapa aku pergi tanpa pamit. Aku jawab, karena aku mendengar suara apek latang. Ibuku tertawa kecil mendengarnya. Beliau mengingatkanku tak perlu takut dan jangan pernah pergi begitu saja tanpa pamit.

Dengan berjalannya waktu, rasa takutku ini akhirnya hilang. Mungkin saat itu aku sudah duduk di kelas 2 sekolah dasar. Aku bahkan ikut membantu ibuku mengeluarkan surat kabar dan majalah bekas yang akan dibeli oleh Apek Latang. Laki-laki tua itu ternyata adalah orang yang sangat ramah dan baik hati.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline