Shanghai adalah kota di Tiongkok yang pertama sekali saya kunjungi. Menghabiskan waktu selama tiga bulan, padahal awalnya hanya berencana liburan tiga minggu. Kemudian pindah ke Beijing dan menetap di sana hampir dua tahun lamanya. Dua kota besar yang memiliki penampilan yang berbeda.
Sebagai kota terbesar di Cina, Shanghai terkesan sangat modern, megah dan nyaman. Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 20 juta jiwa ini memang terlihat berbeda dengan Beijing, yang terlihat bersahaja dihiasi bangunan bersejarahnya. Namun, di balik bangunan modern dan gedung pencakar langit yang bertebaran, Shanghai masih banyak menyimpan sisa peninggalan masa lalu.
Pada tahun pertama tinggal di kota ini, saya mengikuti kelas bahasa Mandarin. Gedung tempat kursusnya terlihat berbeda dari bangunan rumah-rumah tradisional di Cina pada umumnya. Wilayah ini memang terlihat istimewa dari distrik lainnya di Shanghai. Dulunya tempat ini adalah wilayah konsesi Perancis.
Annie, guru yang mengajar di kelas kami sedikit menerangkan juga mengenai kota Shanghai termasuk kawasan ini. Dia sedikit menggarisbawahi, orang Cina kurang suka mendengar kata "konsesi Perancis" disebutkan. Saat itu, salah satu peserta kursus, seorang wanita dari Belgia bertanya, apa sebutan konsesi Perancis dalam bahasa Mandarin.
"Tidak ada, sebut saja nama jalannya, jika ingin ke daerah tersebut," begitu dia menjawab sambil tersenyum penuh makna.
Konsesi Perancis
Hingga tahun 1840-an, Shanghai adalah dua kota bagian, kota tua Cina sendiri, dan di sekelilingnya adalah area konsesi asing, Inggris, Perancis, Amerika dan Jepang, dengan administrasi kota dan yurisdiksinya masing-masing.
Setelah *Perang Opium Pertama, Shanghai dibuka sebagai pelabuhan perdagangan di bawah Perjanjian Nanjing. Inggris menetapkan konsesi pertama pada tahun 1845 di wilayah kota lama bagian utara Shanghai. Kemudian Perancis mengikuti, membuat konsesi Perancis pada tahun 1849.
Satu sisi pinggiran sungai Huangpu di Shanghai dulunya dimiliki oleh Perancis, tepatnya dari tahun 1849 hingga 1943. Wilayah ini dulunya adalah daerah rawa. Hanya daerah inilah yang bisa ditawarkan oleh pemerintah Cina kepada konsul Perancis pertama, Charles de Montigny, yang datang untuk merundingkan pembentukan konsesi di bawah hukum Perancis, di mana Perancis dapat membeli real estat.