Lihat ke Halaman Asli

Hennie Triana Oberst

TERVERIFIKASI

Penyuka traveling dan budaya

Saat Kita Berpayung Bersama

Diperbarui: 6 Oktober 2020   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi payung - foto: t_watababe/pixabay.com

Ah, banyak betul pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Besok Pak Amir pasti marah besar jika tugas maket rumah ini tidak sempurna. Aku butuh beberapa gulungan kawat lagi.

"Bu, aku ke toko Bang Apul bentar ya," ujarku sedikit berteriak. Ibu sedang berada di ruang tengah yang berfungsi sebagai ruang kerja.

Sambil mengembangkan payung putih transparan, beralas sandal jepit kutapaki halaman rumah yang basah. Masih ada sisa air hujan yang menggantung di pepohonan, aku tak mau rambutku yang baru dicuci basah lagi.

Senter kuarahkan ke bawah, cacing tanah suka berpesta pora setelah turun hujan. Geli melihat binatang penyubur tanah ini bergerak dan menggeliat.

"Numpang ya." Hampir copot jantungku mendengar suara lelaki yang tiba-tiba sudah di sampingku. Dia pernah kulihat sekitar seminggu lalu, duduk memandang langit di pojok teras rumah besarnya.

"Namaku Kelana," lanjutnya. Mata teduhnya membuat jantungku berdetak lebih kencang, senyumnya apalagi.

"Aku Lila. Kamu mau kemana?"

"Mau ke warung mie. Lapar nih dingin-dingin begini."

Warung Mbak Ima di samping toko Bang Apul maksudnya. Di sana memang terkenal mie rebus yang luar biasa lezatnya.

"Ikut nggak?"

"Kapan-kapan aja ya, aku nggak bisa hari ini."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline