Seorang teman yang tinggal di Indonesia, sebut saja Lilly, curhat mengenai rencananya untuk menggugat cerai suaminya. Menurut Lilly, suaminya sudah bertahun-tahun tidak memberi nafkah. Kebutuhan rumah tangga mereka dengan seorang anak satu harus ditanggung oleh Lilly sepenuhnya.
Suaminya bekerja, tetapi uangnya semua diberikan kepada ibunya. Ibu mertua Lilly bukan orang yang tidak punya, tetapi menurut ibu mertua, suami Lilly adalah anak laki-laki satu-satunya dan bertanggung jawab penuh membiayai ibunya.
Lilly mengatakan, sama sekali ia tidak keberatan suaminya memberi uang kepada ibu kandungnya, tapi bukan semua penghasilannya. Suaminya tidak berani membantah, begitu menurut pengakuannya.
Setelah kami bercakap-cakap waktu itu, Lilly lega dan sangat mantap dengan keputusannya. Dua tahun berlalu, surat cerai berhasil dia dapatkan. Lilly terlihat bahagia hidup berdua dengan anaknya.
***
Anna-Marie (bukan nama sebenarnya), seorang teman saya di Jerman, pernah bercerita bahwa suaminya harus berbagi gaji dengan anaknya dari mantan istrinya. Anna-Marie yang tidak bekerja harus bisa mengatur keuangan rumah tangga mereka.
Perceraian memang jalan terakhir yang harus diambil oleh sepasang manusia, jika memang sudah tidak bisa dihindari lagi. Pasangan yang tidak memiliki anak di bawah umur, mungkin urusannya relatif lebih gampang.
Tetapi situasinya akan berbeda jika mereka memiliki anak yang masih butuh perhatian dan kasih sayang dari keduanya. Bukan hanya harta yang bisa menimbulkan pertengkaran akibat perpisahan dan perceraian, tetapi juga anak-anak.
Orang tua dapat berpisah, tetapi mereka akan tetap terhubung seumur hidup melalui anak-anaknya. Pasangan yang berpisah tetap memiliki tanggung jawab bersama untuk membesarkan anak-anak mereka.
Oleh karena itulah harus ada kesepakatan dari keduanya. Siapa yang akan mengasuh anak-anak dan bagaimana pembagian waktu berkumpul dengan ayah dan ibunya.