Lihat ke Halaman Asli

Hennie Triana Oberst

TERVERIFIKASI

Penyuka traveling dan budaya

Ketika Pilihan Akhir Jatuh Pada Panti Wreda

Diperbarui: 2 November 2020   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto:4clients/pixabay.com

Minggu pagi pertengahan musim gugur tahun 2009.

Kami dikejutkan oleh suara telpon. Sudah tidak terlalu pagi sebenarnya, tetapi ini kebiasaan kami untuk menambah jam tidur lebih lama di akhir minggu. Suamiku menjawab telpon singkat dan di akhir kata aku dengar ia hanya mengucapkan kalimat pendek "Iya, kami akan datang segera". Dia lalu duduk, tertunduk lemas, dan mengatakan lirih padaku "Papa telah pergi". Kami akhirnya menangis berdua. 

Awal musim semi di tahun yang sama Ayahku pergi, sekarang disusul oleh ayah mertuaku. Tak ada waktu untuk berlarut menangisi kepergian ini, kami harus berkemas dan segera menuju ke sana, jarak tempuh dengan mobil sekitar satu setengah jam.

~~000~~

Suasana rumah seperti biasa sepi. Ibu mertuaku (ibu tiri dari suamiku) sedang duduk di sofa ruang tamu ditemani bu Dokter, sahabat keluarga, dan seorang paramedis dari rumah sakit yang memeriksa kondisinya. Beliau tadi jatuh di lantai ruang tamu, jadi dikuatirkan benturan di kepalanya berakibat fatal. Tak kulihat air matanya, tapi kesedihan bisa aku baca di raut wajah dan tatapan matanya. Bukankah tangis yang tertahan itu lebih menyiratkan kepedihan yang luar biasa dan sangat menyesakkan dada. 

Tidak menunggu lama pengurus jenazah dari sebuah perusahaan yang menangani ini telah hadir, kebetulan pemiliknya (suami istri) yang merupakan sahabat lama ibu mertuaku ini juga ikut hadir, turut mengucapkan belasungkawa. Mereka kemudian pamit setelah urusan selesai dan membawa jenazah untuk persiapan pemakaman.

Ibu mertuaku didampingin suamiku dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa kondisinya lebih rinci lagi. Menjelang sore beliau kembali ke rumah. Aku dan putriku menginap di rumah mertuaku, menemani beliau yang sendiri dalam kondisi sedih dan lemah fisiknya. Ia yang biasanya terlihat sangat fit di usia 70 tahun lebih, hari ini terkulai lemah, serasa berbicarapun ia tak sanggup lagi. 

Suamiku adalah anak tunggal mereka, walaupun ia bukan lahir dari rahim beliau, bagi suamiku ia tetap memiliki dua orang ibu (ibu kandung dan ibu tiri). Kami lewati malam bertiga, karena suamiku pada Senin pagi itu harus ke kantor beberapa jam dan segera kembali ke rumah orang tuanya. Aku tak bertanya apa-apa pada ibu mertuaku, kubiarkan ia berkisah sendiri. 

Ayah mertuaku pergi dalam hitungan yang singkat, ketika ibu mertuaku sedang berada di dapur untuk mengambilkan minuman dan obat dan vitamin yang dibutuhkan suaminya. Ketika kembali ternyata suaminya telah tertidur untuk selamanya. Seperti yang dipastikan oleh paramedis yang dipanggil beberapa saat kemudian.

~~000~~

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline