"Bagiku tidak ada sukacita yang lebih besar daripada mendengar, bahwa anak-anakku hidup dalam kebenaran." (Santo Yohanes)
Semua orangtua mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang memiliki kehidupan yang sukses. Sukses dalam pendidikan, kerja, karier, usaha, dan rumah tangga. Kesuksesan itu menimbulkan sukacita dan kebanggaan di hati orangtua. Akan tetapi, bagaimana bila mereka memiliki sifat dan kelakuan yang buruk apalagi tidak menghormati orangtuanya? Masih adakah sukacita dan kebanggaan itu?
Stephen Covey dalam bukunya The 7 Habits of Highly Effective People menyebutkan tiga teori yang mendasari hal ini, yakni determinisme genetis, determinisme psikis, dan determinisme lingkungan. Dan, dalam proses pendampingan personal atau pastoral-konseling terhadap orangtua maupun anak bimbingan, saya mendapati determinisme psikis pada lingkup keluarga sebagai faktor yang cukup dominan.
Pada beberapa kesempatan, saya menuangkan hal itu pada artikel, antara lain: Sisi Ruang Batin Anak, Begitu Anak Begitu Ibu, Ucapkan Hal yang Positif, Pantat Kuning (artinya: pelit). Sedangkan pada kesempatan ini, saya melengkapinya dengan memberi penekanan perihal pembentukan karakter yang sudah harus dimulai sejak anak di dalam kandungan.
Pada umumnya, hal yang paling dikuatirkan oleh orangtua terhadap anak di dalam kandungan ibunya adalah cacat fisik. Nyaris langka yang menaruh kuatir akan hal batin. Seolah-olah bayi di dalam kandungan hanya terdiri dari daging semata. Seolah anak di dalam kandungan hanya punya fisik atau jasmani. Bagaimana mungkin janin anak manusia hanya bertubuh tetapi tidak berjiwa?
Saat kita bicara soal sifat dan kelakukan negatif anak, maka kita sedang bicara tentang jiwa atau mental atau moral atau akhlak atau budi pekerti anak. Semua itu adalah bagian dari karakter manusia atau kondisi watak yang menjadi identitas kepribadian manusia.
Hal itu harus menjadi perhatian utama orangtua terhadap anak yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Bahwa, Tuhan tidak mengaruniakan anak manusia untuk menambah daftar manusia yang tidak berkenan kepada-Nya. Tuhan mempercayakan anak manusia pada dua insan yang saling mencintai sebagai orangtuanya untuk menghadirkan manusia-manusia yang mencitrakan kebaikan-Nya di muka bumi ini.
Memiliki anak adalah sebuah kepercayaan yang besar. Kepercayaan besar, tanggung jawab pun besar. Oleh sebab itu, membangun rumah tangga dan memiliki anak bukanlah hal sederhana. Bukan sekadar memenuhi kebutuhan makan dan minum, pendidikan, dan kesejahteraan anak.
Orangtua harus menyadari, bahwa kepada mereka dipercayakan manusia ciptaan Tuhan untuk tidak hanya dijadikan berkualitas fisik, material, dan intelektual, melainkan terutama berkualitas budi pekerti yang menyenangkan tidak hanya manusia tetapi terutama Tuhannya.
Sayang sekali, perhatian besar lebih diberikan kepada hal jasmani belaka. Ketakutan akan bayi cacat fisik begitu nampak dengan upaya ibu dan ayahnya untuk memastikan hal itu tidak terjadi dengan melakukan segala saran dan petunjuk dari berbagai pihak guna menjaga kesehatan ibu dan janin guna mencegah janin dari mengalami kelainan secara fisik.