Sebut saja namanya Mentari. Pertemuan dengannya terjadi saat kami sama-sama kos di suatu kelurahan di daerah Tanjung Priok Jakarta Utara tahun 2011. Saat itu saya baru saja berpindah tugas dari kota Manado ke Jakarta. Menunggu proses penempatan, saya memilih tinggal di kamar kontrakan dekat kantor pusat. Di situlah kami bertemu.
Bertandang ke Jakarta untuk sekadar mengisi liburan, tentu berbeda dengan ketika tinggal menetap. Perlahan saya memerhatikan bahwa di Jakarta, khususnya di rumah kontrakan, dalam pandangan saya, orang bisa tidak saling tahu siapa yang tinggal di sebelah huniannya. Orang bahkan bisa saling tidak menyapa saat berpapasan.
Mengapa saya bisa tahu tentang apa pekerjaan Mentari dan lain sebagainya? Karena saya selalu menyapa dia dan mengajak dia bercakap apa saja kala dia belum berangkat kerja. Entah bicara nyamuk Priok, entah bicara air, kemacetan, dan apa saja. Sengaja saya mengangkat topik untuk membuka komunikasi dengannya.
Sesekali saya membawa makanan dari luar untuk dua porsi karena tahu ia belum berangkat kerja dan kami makan bersama. Dalam kebersamaan itulah saya mengetahui lebih banyak hal lagi tentang Mentari. Ia bekerja di sebuah toko pakaian. Berganti waktu pagi atau siang hari ia berangkat kerja. Shift pagi atau siang, ia pulang selalu lewat tengah malam.
Apakah saya berubah sikap dan perilaku saat tahu bahwa selain bekerja di toko, ia juga bekerja di sebuah karaoke? Tidak. Tidak ada yang berubah pada sikap dan perilaku saya. Karena apa? Karena pandangan saya juga tidak berubah terhadap dia.
Pikiran kitalah yang merubah sikap dan perilaku kita terhadap orang lain. Saya tetap seperti biasa. Duduk bersama, tertawa bersama, dan berbincang bersama. Ia bahkan terbuka menceritakan bagaimana ia melayani para pria yang mengunjungi tempat hiburan itu.
Suatu hari Mentari tampak keluar dari rumah induk kontrakan. Matanya basah. Ia menangis. Rupanya pemilik kontrakan tidak ingin lagi ia tinggal di situ. Kita pasti mengerti itu karena apa.
Saya bisa menduga itu, karena Ibu Kos pernah menanyakan Mentari ke saya, "Si Pelacur itu belum pulang, ya?". Saya hanya membalas dengan senyuman. Biarlah itu menjadi jawaban bahwa Mentari belum pulang. Julukan itu tidak pernah saya sampaikan ke Mentari.
Singkat cerita, saya dan Mentari bersama-sama mencari tempat kontrakan yang baru baginya. Membantunya mengatur barang. Mengantar dan mengatur lagi barang-barangnya di kamar kontrakan yang baru.
Untuk beberapa waktu kami masih saling kontak. Saya pun tidak lagi di tempat kontrakan itu karena bertugas di Jakarta Timur. Ada kira-kira setahun sesudah itu, nomor telepon selulernya tidak aktif lagi.
Hingga dua hari lalu seseorang menyapa saya di inbox Facebook. Mentari. Betapa senangnya saya. Kami bercakap banyak. Percakapan kami menginspirasi saya menulis ini. Terkait itu, beberapa isi percakapan kami saya bagikan di sini: