"Ya, Alah Yang Mahakuasa, kami mendoakan Prof. Dr., Dr. PH., Dr. H.C., Minoy M.A.B., M.E., M.I.Pol., M.K.K., M.Kom., M.A.Ed., M.Psi, M.Fil., M.Sc, LL.M., M.Sc.Soc., M.A., M.Kes., M. Pd., M.Acc., ... Amin."
Pertanyaannya: Doa itu ditujukan kepada siapa dan untuk didengar oleh siapa?
Doa ditujukan kepada Allah dan untuk didengar oleh Allah, maka sebutkan saja NAMA PRIBADI yang akan didoakan. Misalnya: "Kami mendoakan Bapak Minoy". Kata 'Bapak' sudah menandakan bahwa yang mendoakan tidak meniadakan penghormatan.
Sebab, itu adalah doa, bukan kata sambutan. Walau tidak disebut, Allah tahu apa saja titel; gelar; pangkat yang disandang. Lagi pula gelar Allah melampaui titel; gelar; pangkat manusia.
Yang mendoakan juga jangan takut tidak menyebut titel atau gelar atau pangkat apa pun itu. Bila dipercayakan untuk mendoakan, artinya lebih tahu doa itu apa. Petik pesan bijak puisi Rustian Al Ansori Tidak Ikut Sinting.
Berilah tempat bagi Allah sepenuhnya di dalam doa dan ibadah kita. Di mana lagi tempat murni bagi Allah, bila doa dan ibadah pun sudah tidak ada bedanya dengan urusan dunia.
Tidak perlu merasa terhina atau dikecilkan atau direndahkan bila segala atribut kehormatan itu tidak disebutkan dalam doa. Sebab, di hadapan Allah semua manusia sama. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.
Titel; gelar; pangkat adalah kemuliaan dunia untuk keperluan dunia dan digunakan di dunia. Semua itu berbatas sampai di kubur saja. Semua itu akan ditinggalkan di dunia.
Hasilnyalah yang akan dimintai pertanggungjawaban kepada Dia. Berguna bagi apa sajakah semua itu? Untuk kepentingan siapa sajakah? Dikerjakan dengan benarkah? Disalahgunakan atau tidakkah semua itu? Dan sebagainya.
Dapat dipahami bila titel; gelar; pangkat yang diperoleh adalah kebanggaan dan tanda kesuksesan di dunia yang diperoleh dengan perjuangan oleh sebab itu patut dihargai. Namun, cukuplah itu untuk manusia dan dunia. Itu ranah dunia.