Lihat ke Halaman Asli

Hennie Engglina

TERVERIFIKASI

Pelajar Hidup

Jokowi Harus Siap Kehilangan Suara

Diperbarui: 27 Januari 2019   18:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber:dreamstime

Awal mendengar Jokowi menyebut nama Prof. Dr. KH. Ma'ruf Amin (MA), seketika itu seisi ruangan "Layu Sebelum Berkembang" dan seperti dikomando serentak berkata, "golput".

Pilihan yang tampaknya "kecele" mengira kubu Prabowo memilih Ulama, justru berakibat tidak sederhana di banyak hati yang kecewa. Akan tetapi, tidak baik berdiam dalam rasa kecewa dengan hanya berfokus pada hal yang negatif.

Penulis mencoba bergeser dari posisi pandang negatif ke sudut pandang yang lain guna menemukan hal-hal positif dari pilihan Jokowi ini. Jadilah analisis-analisis-an ala rakyat biasa. 

Persepsi Positif

Segala upaya peningkatan ekonomi, perbaikan kesejahteraan rakyat, supremasi hukum dan keadilan, kesehatan, pendidikan, dll, tidak akan ada gunanya bila manusia-manusia-nya terpecah belah.

Bukan kemiskinan, tapi perpecahan bangsa, itulah yang berpotensi besar membawa suatu negara kepada kejatuhan.

Belakangan ini anggapan superioritas agama Islam atas Indonesia berupaya terus diwujudkan dan hendak dibuktikan oleh kaum Muslim tertentu dengan upaya aktif terorganisir melakukan intimidasi dan intervensi kekuasaan ranah pemerintahan dan negara beserta seluruh aspek di dalamnya.

Intimidasi ini mengusung kekuatan massa. Kekuatan massa menjadi andalan dan senjata tajam bagi pemerintah untuk takluk. Pengerahan kekuatan massa memang memiliki banyak bukti kemenangannya di dalam sejarah dunia.

Indonesia juga punya bukti itu dalam riwayat sejarah akhir jabatan Gubernur Propinsi DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dan lengsernya H.M. Soeharto dari kursi kepresidenan ke-2 RI. Kekuatan massa inilah sekarang dipakai oleh kelompok Islam tertentu untuk eksis mencapai tujuannya.

MA adalah tokoh Ulama yang dihormati oleh kaum Muslim di Indonesia lintas organisasi dan mazhab apalagi ketika beliau duduk sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Mungkin, dengan memandang MA adalah figur pengayom, maka Jokowi dan para pengusungnya melihat MA dapat meredam gejolak, mendiamkan teriakan, dan menurunkan tensi umat yang cenderung memaksakan kehendak itu. Di sini MA diharapkan memiliki fungsi kontrol terhadap umat Muslim.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline