Sebelumnya > Bagian 1, Bagian 2
Supir Itu Meminta Maaf
Kisah kejahatan manusia yang jauh lebih mengenaskan dari apa yang dialami papi tak terhingga lagi. Supir itu pun tidak membunuh papi secara langsung, karena itu saya memberi tanda kutip pada kata 'pembunuh' di judul artikel ini. Namun dibunuh mati ataupun ditabrak hingga mati, itu sama-sama mati.
Nama kejahatan bisa beda, jenis kejahatan bisa beda dan cara menjahati pun bisa beda, tapi jatuhnya ke satu tempat yang sama di diri korban dan keluarganya, yakni di HATI. Tidak ada ruang lain diciptakan oleh Yang Mahakuasa bagi emosi; perasaan manusia kecuali hati.
Artinya, besar kecilnya perkara kejahatan manusia atau kenyataan buruk yang dialami oleh manusia, sama-sama menaruh rasa sedih, kecewa, pilu, perih, duka, dsb di hati manusia.
Di kulit rasa beda, di hati rasa sama. Dan hanya dengan hati pula, manusia dapat ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain.
Oleh sebab itu kita sering diingatkan untuk mencubit diri sendiri sebelum mencubit orang lain. Jika itu sakit pada diri kita, maka itu juga sakit pada orang lain.
Janganlah meremehkan derita orang lain. Sebab kita tidak tahu persis rasanya seperti apa sampai kita sendiri mengalaminya.
Persoalan konsekwensi hukum atas perbuatan ugal-ugalan supir angkot itu adalah bukan urusan kami. Bagaimanapun juga ada manusia yang mati oleh karena kebrutalannya di jalan. Biarlah itu menjadi urusan pihak berwajib. Tapi bagaimana dengan permintaan maafnya kepada kami?
Kami Mengampunimu
Tidak ada sesuatupun yang terjadi di bawah kolong langit ini di luar pengetahuan Yang Mahatahu. Jika itu sudah terjadi, berarti itu memang harus terjadi. Sebaliknya, itu tidak akan pernah terjadi bila Allah tidak mengijinkan itu terjadi.
Semua yang hidup akan mati. Hanya "cara mati"-nya saja yang berbeda. Ada yang karena penyakit. Ada yang karena kecelakaan udara, laut, darat. Ada yang karena musibah-bencana. Ada yang lagi duduk, tidur, jalan, dll -- mati.
Hidup dan mati manusia di tangan Allah. "Cara mati" pun ada di tangan-Nya. Seperti kita tidak dapat memilih "cara kita lahir", demikian juga kita tidak dapat memilih "cara kita mati". Itu hak prerogatif Allah. Siapakah yang hendak menggugat Allah?