Lihat ke Halaman Asli

4 Hari di Desa

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah pengalaman saya waktu SMA. Pengalaman sekali seumur hidup, dan pengalaman yang tidak akan pernah saya lupakan. 4 Hari di desa, tanpa TV, tanpa handphone, tanpa majalah, tanpa kamera, bahkan tanpa WC.

Hari pertama berangkat waktu sore. Pergi ke daerah Muntilan di Jawa Tengah. Perjalanan sekitar 12 jam untuk sampai kesana.

Ketika sampai, kami turun di sebuah gereja Katolik, disana sudah disediakan makanan. Kami makan dengan daun, bukan dengan piring. Wow, amazed saya dibuatnya. Makanannya sederhana, nasi dan pecel untuk sarapan. Setelahnya, kami diajak berdoa. Tapi pastornya menggunakan bahasa Jawa, dan saya ga tau dia ngomong apa.

Menjelang siang, kami berangkat ke desa. Ada beberapa desa, dan kami disebar. Satu rumah hanya untuk 2 orang. Desa yang saya tinggali bernama Desa Gantang. Perjalanannya? Sungguh tak terbayangkan. Kami menggunakan truk yang biasa dipakai untuk mengangkut sapi. Ya! Mengangkut sapi. Tapi sudah dibersihkan, jadi tidak ada bau-bau yang aneh.

Jalanannya pun rusak, jauh masuk ke dalam. Tidak ada satupun mobil kendaraan umum atau mobil kendaraan pribadi disana. Sejam kemudian, sampailah kami semua. Saya menunggu dijemput oleh keluarga yang rumahnya akan saya tinggali selama beberapa hari. Keluarga dengan dua orang anak. Anak pertama bernama Joko dan yang kedua Putri. Keduanya masih kecil.

Rumahnya? Tanpa ubin, hanya tanah, lampu? Hanya ada dua, itupun lampu kuning kecil. Satu untuk diruang tamu, satu lagi dekat kamar mandi dan kandang sapi. Tidak ada langit-langit rumah, tidak ada cat tembok, hanya bata dan semen. Mereka adalah keluarga petani, dan mempunyai satu ekor sapi.

Entah kenapa, mereka sangat baik sekali terhadap kami. Memberikan kami tempat tidur terbaik, selimut terbaik yang mereka punya. Walaupun hanya sebatas papan beralaskan kasur yang sangat tipis, serta bantal-bantal yang sudah usang, kami tetap bisa tidur nyenyak disana. Bahkan ketika saya dan teman saya ingin melihat tempat tidur mereka, kami tidak diijinkan. Entah kenapa, apa karena mereka tidak mau ketauan kalau mereka ternyata tidur di gudang???

Udara daerah sana sangat sejuk. Siang hari memang agak panas, tapi kalau malam hari, udaranya cukup dingin. Minuman yang kami minum setiap hari itu adalah teh. Hampir tidak pernah disajikan minum air putih. Mungkin karena tradisi mereka untuk menyediakan teh bagi tamu nya. Kami juga disediakan biskuit. Bentuknya sih seperti biskuit merek terkenal, tapi ternyata setelah dicoba, rasanya berbeda sangat jauh. Tapi tak apalah, itu adalah yang terbaik yang mereka punya.

Hari berikutnya, kami mulai membantu mereka bekerja. Dimulai dari yang mudah terlebih dahulu. Kami bersama sang ibu pergi ke sawah yang letaknya tidak jauh dari rumah (menurut mereka). Sampai disana, kami tidak bisa membantu banyak. Hanya pada waktu pulang, kami membantu ibu untuk membawa pakan ternak sapi berupa rumput yang tinggi dan besar. Tajam di sisinya. Nampaknya bukan rumput, tapi saya pun tidak tahu namanya apa. Kami hanya diberikan setengah dari beratnya yang ibu bawa. Namun setelah diangkat, beratnya minta ampun. Saya tidak bisa membayangkan betapa beratnya beban yang ibu bawa pulang. Setelah beberapa lama perjalanan, kami sampai dirumah dan ibu memberikan sapinya makan. Saya dan teman saya bernasib berbeda dengan ibu. Tangan kami semuanya penuh luka lecet. Ya, satu lengan, dua-duanya lecet. Perih rasanya. Dan tidak ada obat dirumah itu, jadi kami diberikan body lotion entah merek apa untuk diolesi ke lengan kami.

Malamnya, kami makan dua telur goreng. Yang dibuat untuk dimakan berlima. Nasi yang kami makan adalah nasi putih, tapi yang mereka makan adalah nasi jagung. saya tanya kenapa, dan jawabnya adalah supaya cepat kenyang dan lebih murah. Miris mendengarnya, karena saya terkadang tidak menghabiskan nasi yang saya makan kalau dirumah.

Hari berikutnya, kami minta diajak pergi ke sawah yang (kata mereka) letaknya sedang jauhnya. Saya dan teman meminta ikut kesana. Ternyata, "jauh"nya mereka dengan kita sangat berbeda. Lokasi sawahnya sangat jauh. Jalanan terjal, dipinggir jurang, dan kalau tidak hati-hati, bisa jatuh terperosok karena licin. Belum lagi mereka membawa dirigen yang isinya kotoran sapi untuk pupuk. Alhasil, sampai disana kami tidak diperbolehkan untuk membantu. Hanya bisa duduk-duduk saja. Bermain dengan salah satu anaknya yang ikut dan tidak terlihat lelah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline