Ujian nasional untuk pendidikan dasar dan menengah, telah ada sejak masa kemerdekaan dengan berbagai nama baik Ujian Penghabisan (tahun 1950 sd 1964), Ujian Negara (1965 sd 1971), Ujian Sekolah (1972 sd 1979), EBTANAS (1980 sd 2001) ... hmm ini zaman saya dulu, Ujian Akhir Nasional (2002 sd 2004), hingga bernama Ujian Nasional (2005 sd 2020). Dengan adanya Ujian Nasional ini disadari bahwa apabila dilakukan penyeragaman asesmen siswa dari sabang sampai merauke, dirasakan bahwa untuk siswa yang bersekolah di daerah terpencil dengan tenaga pengajar serta fasilitas seadanya akan menjadi kurang adil apabila harus berkompetisi dengan siswa pada kota besar. Kemudian, dirasakan juga dengan tidak lulusnya siswa atau tidak naik kelasnya siswa, akan membebani ekonomi keluarga siswa tersebut, serta siswa tersebut dikhawatirkan akan menjadi sasaran sindiran dari masyarakat, sehingga diputuskanlah tidak perlu lagi Ujian Nasional dan setiap siswa pasti naik kelas. Pasti naik kelas karena apabila tidak mencapai nilai batas, akan dilaksanakan ujian perbaikan dengan jumlah pengulangan minimal satu kali dan maksimal tidak terbatas. Ujian Nasional digantikan dengan asesmen profil siswa oleh masing-masing sekolah.
Namun menurut UNESCO, National Examinations adalah wajib (must take) bagi siswa yang hendak melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi atau yang disebut HE (Higher Education). National Examination juga berfungsi sebagai sarana yang seragam dalam meng-asses siswa, sebagai transparansi (penilaian), dan meningkatkan akuntabilitas publik. Kemudian, bagi siswa yang hendak melanjutkan pendidikan tinggi ke luar negeri tentu saja akan menjadi pertanyaan apabila di SMA atau SMK nya tidak ada Ujian Nasional dan pasti (atau dijamin) lulus/naik kelas.
Analisa dari UNESCO, ketiadaan Ujian Nasional sangat terkait dengan masalah ekonomi dimana 9 dari 10 negara di eropa timur, eropa tengah, dan asia tengah mewajibkan siswa lulus UN untuk lanjut ke HE. Sedanhgkan di Afrika, Asia Timur dan Pasifik, serta amerika latin hanya kurang dari 30% yang mewajibkan UN untuk lanjut ke HE. Apakah biaya UN di Indonesia sangat besar sehingga negara tidak mampu dan memutuskan untuk menghapus UN? Ataukah hanya karena alasan takut 'minder' apabila nilainya jelek, sehingga dihapuskanlah UN yang telah ada berpuluh-puluh tahun itu, dengan kemasan kurikulum merdeka, dimana semua siswa merdeka dan tidak akan ada yang tinggal kelas.
Saran penulis, bila tetap dilanjutkan dengan ketiadaan UN, maka setidaknya harus ada Ujian Antar Sekolah, dimana sekolahnya yang diuji. Saat ini hanya berupa sampling terhadap siswa untuk diasses, dan itu sudah dianggap cukup. Masalahnya, apakah kampus-kampus internasional seperti Harvard, Nanyang, akan mau mengerti sampling semacam ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H