Kurikulum Merdeka diinisiasi dari hasil penelitian OECD (Organisation for Economic Co-operation and Developmen) yang merupakan sebuah organisasi internasional dengan 38 negara yang menerima prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas, dimana faktor pendidikan (education and skill) menjadi salah satu dari 6 Regional Policy Networks dalam pembentukan kebijakan stategis pada suatu wilayah (region). Indonesia telah menjalin kerjasama sejak 2007 dan pada 2015 telah berdiri kantor OECD di Jakarta. Hasil penelitian OECD yang dimaksud adalah bahwa 70% siswa berusia 15 tahun berada di bawah kompetensi minimum dalam memahami bacaan sederhana atau menerapkan konsep matematika dasar, dan hal ini tidak mengalami peningkatan yang signifikan dalam 10 hingga 15 tahun terakhir. Hal ini dianggap sebagai kondisi yang cukup mengkhawatirkan dan perlu disingkapi dengan pemngaturan, perubahan, dan adaptasi dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar.
Penekanan pada Kurikulum Merdeka ini, sebagaimana disampaikan pada laman ruang kolaborasi kemdikbud dapat diringkas dalam tiga pokok. Yang pertama adalah pembelajaran terdiferensiasi dalam rangka pendalaman konsep dan perkuatan kompetensi siswa; kemudian kedua yakni pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila yang merupakan pelajaran kokurikuler; dan fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi.
Dalam pembelajaran terdiferensiasi, tingkat kemampuan setiap siswa diakui dan dihormati. Guru dituntut melakukan asesmen diagnostik (atau pemetaan kemampuan sisa) pada awal tahun pembelajaran sehingga murid dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat kemampuannya. Guru akan menyusun proses pembelajaran sesuai dengan hasil asesmen diagnostik. Contoh sederhana dari hal ini adalah kalau dulu, penyebab utama siswa/-i tidak naik kelas adalah nilai ujian merah (di bawah kriteria kelulusan). Saat ini dengan penerapan Kurikulum Merdeka, hal tersebut tidak berlaku lagi. Apabila siswa mendapat nilai dibawah ambang yang disebut nilai KKTP (Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran), maka akan dilakukan suatu tindakan yang disebut Remedial. Uniknya, Remedial ini dilaksanakan sedikitnya 1 kali dimana dulunya remidial hanya satu kali. Ini berarti remedial, atau yang dulu disebut ujian perbaikan nilai ini dapat dilaksanakan berkali-kali hingga peserta didik tersebut dapat mencapai batas minimal tujuan pembelajaran yang dipersyaratkan.
Peserta didik bisa saja tidak naik kelas meskipun remedial dapat dilaksanakan berkali-kali, yakni apabila peserta didik tidak mau mengikuti remedial tersebut sehingga tidak mencapai batas minimal ketercapaian yang dipersyaratkan. Selain itu, kehadiran dan nilai profil pelajar pancasila juga menjadi kriteria kenaikan kelas.
Selain remedial, pembelajaran terdiferensiasi juga diaplikasikan pada metode asesmen, dimana sebelum ujian, guru harus membuat kisi-kisi soal, pedoman penskoran, dan analisis dari soal tersebut. Demikian juga dengan tingkat kesulitan pada soal ujian, terdapat persentase tertentu untuk distribusi soal-soal dengan tingkat kesulitan sukar, sedang, dan mudah.
Untuk penilaian proses belajar mengajar sendiri disebut asesmen yang dibedakan menjadi dua yakni asesmen sumatif dan asesmen formatif. Asesmen sumatif ini merupakan asesmen untuk mengevaluasi ketercapaian tujuan pembelajaran yang dulu kita kenal sebagai nilai rapor, sedangkan asesmen formatif ini dilakukan secara berkala untuk mengetahui progres pembelajaran murid dan melakukan penyesuaian metode pembelajaran, jika diperlukan. Asesmen sumatif ini penilaiannya tidak hanya dari ujian saja, tapi juga termasuk dari tugas-tugas yang diberikan. Sedangkan asesmen formatif bukan ditujukan untuk mengukur hasil sehingga tidak masuk dalam nilai rapor. Asesmen formatif ini ditujukan untuk permbentukan dan perbaikan proses belajar mengajar dimana kegiatan asesmen formatif ini dapat berupa test bakat, pemetaan peserta didik, ujian persiapan, maupun diskusi dan tugas-tugas formatif yang tidak berorientasi pada nilai.
Pada Pembelajaran Berbasis Proyek, nama kegiatannya akan sedikit berbeda yakni Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila. Proyek ini biasanya berupa pembelajaran peserta didik untuk meng-create dan me-manage suatu usaha (usaha di sini berarti bisnis, seperti UMKM atau usaha kecil-kecilan) seperti contohnya membuka stand atau kios untuk menjual makanan dengan kreatifitas masing-masing, atau menjual pernak-pernik hasil daur ulang yang merupakan karya dari para peserta didik sehingga peserta didik memahami proses suatu usaha mulai dari proses produksi, distribusi, dan penjualan, serta pencatatannya. Mengikuti perkembangan jaman, peran sosial media turut didayagunakan dalam perkuatan proyek ini seperti misalnya iklan melalui medsos, fitur PO atau memesan di awal. Hal ini diterapkan mulai dari pendidikan dasar hingga SMA. Selain proyek usaha, proyek dapat pula berupa perancangan dan pengembangan produk hasil rekayasa yang tentu saja diharapkan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Produk rekayasa ini tidak perlu muluk-muluk seperti robotika, mengingat kuliner juga tergolong produk rekayasa loh.
Kemudian yang ketiga yakni fokus pada materi esensial, siswa pada tingkat SMA akan memilih mata pelajaran pada kelas 1 untuk dimulai pada kelas 2 SMA, dimana pilihan mata pelajaran ini akan berkorelasi dengan rencana jurusan (saat ini disebut prodi) pada perguruan tinggi. Panduan mata pelajaran apa saja yang sesuai atau mendukung prodi yang akan dipilih nantinya di Perguruan Tinggi dapat dilihat pada Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 345/M/2022 Tentang Mata Pelajaran Pendukung Program Studi Dalam Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi. Mata Pelajaran yang akan dipelajari pada kelas 2 SMA ini terdiri dari Mata Pelajaran Wajib dan Mata Pelajaran Pilihan.
Siswa dapat memilih beberapa mata pelajaran yang dapat merupakan kombinasi dari yang dulu kita kenal sebagai mata pelajaran di Kelas IPA dan di Kelas IPS. Misalnya, siswa yang berminat menjadi dokter dapat memilih mata pelajaran pilihan biologi, kimia, fisika, matematika, dan tambahannya adalah ekonomi.
Kendala dari pemilihan mata pelajaran ini, dimana dulu kita kenal hanya pembedaan antara kelas IPA dengan Kelas IPS saja, adalah dibutuhkannya sumber daya pengajar yang cukup, misalnya pada kondisi ekstrim seperti 90% peserta didik kelas 1 SMA memilih mata pelajaran fisika sementara guru fisika hanya satu atau dua orang saja. Selain itu, untuk mata pelajaran yang tidak memenuhi kuota minimum jumlah siswa yang memilih juga tidak dapat terlaksana, misalnya hanya 3 orang siswa yang memilih mata pelajaran kimia. Selain itu, penerapan mata pelajaran SMA dalam perkuliahan tersebut saat ini hanya diwajibkan pada Seleksi Nasional berdasarkan prestasi saja, atau dapat dikatakan pada Perguruan Tinggi Negeri. Hal yang berbeda tentu saja akan berlaku pada Perguruan Tinggi swasta maupun Universitas luar negeri.