Senja mengembang di sudut kerapuhan yang menyeruak dalam bayang-bayang hitam kala itu. Nyaris tanpa suara, di atas balkon, sesosok wanita berdiri mematung dan memandang jalan raya yang seakan tidak pernah berhenti arus lalu lintasnya bagaikan detak suara jam dinding.
Baginya, seolah kaki tak lagi menjejak bumi. Antara khayal dan fakta bergulat mencari kemenangan. "Bukankah aku telah tahu hal ini akan terjadi?"serunya tertahan di dalam kerongkongan yang kian mengering.
"Sherlyn...." Daniel yang tiba-tiba datang dan memeluk dan mencium lehernya dari belakang membuat wanita berparas manis itu terkejut bukan kepalang. Gaun malam yang sekali waktu tersingkap ditiup angin, semakin menambah kesyahduan malam yang dingin menggigit.
Sejurus kemudian, kedua pasangan yang dilanda asmara itupun masuk dan bersiap menyantap jamuan malam yang telah tersedia di atas meja makan bundar disinari lampu temaram. Sherlyn memandang wajah laki-laki yang ada di depannya dengan penuh saksama. Untuk kesekian kali, dia merasakan tatapan mata yang hangat dan menyimpan keteduhan di sana.
Sherlyn menggenggam tangan Daniel seakan enggan untuk melepaskan. Kedekatan hati yang telah terjalin beberapa tahun terakhir ini telah membangun sebuah rasa cinta yang semakin kokoh. "Apa engkau ingin kembali bersamanya ?"terdengar suara serak menahan tangis yang tertahan keluar dari bibirnya yang tipis.
Daniel hanya menghela napas panjang. Baginya masa lalu itu telah berakhir sebagaimana buku harian yang telah terkunci dan kuncinya juga kini menghilang. "Dia yang telah ingkar dan meninggalkan aku," ucapan Daniel berusaha meyakinkan hati kekasihnya yang tengah gundah.
Diam-diam, ada rasa cemburu yang kian menggelitik pada perasaan Sherlyn. Kepalanya seakan dipenuhi berbagai pertanyaan yang hendak dia korek langsung dari seseorang yang ada di hatinya itu. Mereka pasti telah berasumsi negatif terhadap dirinya. Cinta? Mungkinkah Tuhan memberikan sebuah cinta yang sejati pada manusia seperti dirinya ?
Cinta atau sekedar pelarian semata bukan lagi menjadi pertimbangan bagi seorang Sherlyn. Faktanya, dia telah merelakan semua kehormatan yang dimiliki atas nama cinta. Cinta yang tanpa syarat. Sementara, bayangan bocah laki-laki dan perempuan seakan terus membayanginya. Seolah mereka hendak mengatakan agar Sherlyn membiarkan orang tuanya bersatu kembali.
"Kenapa aku harus melepaskan, sementara perempuan itu telah mencampakkan sesuatu yang telah dimilikinya dengan begitu mudah? " Jari-jemari ramping Sherlyn menari memainkan pena untuk meluapkan segala perasaan yang bergemuruh memenuhi ruang hatinya. Usianya kini tidak lagi muda. Pencarian tentang satu cinta sejati bagaikan mencari jarum di antara tumpukan jerami.
Merelakan seorang kekasih hati untuk hidup bersama dengan orang lain itu tidak lebih dari ungkapan kebohongan belaka. Di sisi lain, apa yang disatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia. Hubungan Sherlyn dan Daniel kian terasa rumit. Bagaimana mungkin Sherlyn menjalani sebuah hubungan tanpa status ?