Kayak mimpi di siang bolong. Nggak ada angin, nggak ada hujan tiba-tiba muncul berita ada bomber beraksi di Surabaya. Kota kelahiran saya dan anak-anak yang terkenal aman, legowo dan punya toleransi besar pada perbedaan. Yang lebih ngenes-nya lagi, aksi itu terjadi hanya beberapa hari sebelum bulan Ramadhan, bulan Mei tahun 2018 ini.
Iya, sejak aksi hari pertama saya pun ikut-ikutan ngetwit kalau #SuroboyoWani #SuroboyoGak Wedi dan semacamnya. Tapi ketika besoknya ada berita baru bahwa ditemukan beberapa alat peledak di jalan Sikatan, Manukan Wetan. Yang notabene jalur suami saya kalau pulang kerja, ya saya jadi keder juga. Nih orang yang pengen eksis dengan meledakkan dirinya dan keluarganya kok udah sampai ke area rumah saya juga to, Surabaya Barat.
Begitulah, naluri emak-emak yang gampang cemas langsung terpantik.
Di hati mbatin aja nih, jangan-jangan akan terus berlanjut aksinya. Bagaimana jika makin ngawur aja mereka ketika bulan puasa. Apalagi ketika melihat ulasan ahli antroplogi yang mengatakan bahwa,
"secara teologi, pemahaman yang dianut para teroris ini meyakinin bulan Ramadhan adalah bulan pembakaran. Jadi aksi mereka akan semakin gencar"
Waduh, Ya Rabb tolong kami. Sungguh ngeri jika pas bulan puasa malah banyak hal-hal seperti ini.
Akan tetapi, ada juga beberapa cuitan orang yang bisa membuat hati ini semakin tenang.
Pada intinya dia menuliskan bahwa, kasus yang terjadi di Surabaya ini mengingatkan kita akan kematian. Bagus juga jika memulai ibadah spesial di bulan Ramahan dengan mengingat kematian. Karena yang penting itu bukan kapan kita akan mati, melainkan apa yang bisa kita bawa ketika mati.
Dari sini, saya lebih tenang. Dan juga berpasrah. Sekaligus koreksi diri, bener sih kalau mending mikirin gimana cara nambah amal baik diri ini daripada sekadar ketakutan tak bertepi.
Dengan mindset ini, saya pun siap menyambut ramadhan. Dan dengan gagah berani akan masuk ke masjid untuk bareng bersama tetangga sekitar menunaikan sholat tarawih.
Setiap kejadian, pasti ada hikmahnya.