Asia Timur saat ini berada pada titik kritis yang berpotensi mengubah sejarah kawasan tersebut. Ketegangan di Semenanjung Korea, dengan riwayat konflik panjangnya, kembali menjadi pusat perhatian global, menimbulkan kekhawatiran tentang kemungkinan perang nuklir. Persaingan senjata antara Korea Utara dan Korea Selatan, yang masing-masing didukung oleh kekuatan besar seperti Rusia dan Amerika Serikat, telah menciptakan dinamika baru yang tidak bisa diabaikan.
Korea Utara dilaporkan memiliki sekitar 40 hingga 50 senjata nuklir pada 2024, sementara Korea Selatan mengalokasikan sekitar USD 50,2 miliar untuk anggaran pertahanan pada tahun 2023, meningkat dari USD 46,3 miliar pada tahun sebelumnya. Di tengah ketidakpastian global ini, Asia Tenggara, khususnya Indonesia memiliki peluang emas untuk mengubah peta geopolitik dengan mengambil langkah-langkah revolusioner yang berani dan tidak konvensional.
Indonesia, sebagai negara dengan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, memiliki posisi strategis yang unik. Sejak Konferensi Asia-Afrika tahun 1955, Indonesia telah menunjukkan kemampuan diplomatiknya untuk memfasilitasi dialog dan kerjasama antar negara. Namun, dunia saat ini membutuhkan lebih dari sekadar mediator netral.
Dengan populasi lebih dari 275 juta jiwa pada tahun 2023 dan PDB sebesar USD 1,29 triliun, Indonesia memiliki kapabilitas dan legitimasi untuk mengambil peran yang lebih aktif. Salah satu langkah revolusioner yang bisa diambil adalah membentuk Koalisi Perdamaian Asia Timur (East Asia Peace Coalition, EAPC) sebagai aliansi keamanan regional baru yang berfokus pada anti-nuklir dan anti-hegemoni.
Alih-alih menunggu situasi memburuk dan hanya bereaksi terhadap krisis, pemerintah Indonesia dapat memimpin upaya mendesain ulang arsitektur keamanan Asia Timur. EAPC bisa mencakup negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina, serta negara-negara Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan yang juga memiliki kepentingan yang sama.
Tujuan koalisi ini adalah untuk tidak hanya menjadi benteng pertahanan tetapi juga secara aktif memediasi dan menawarkan solusi konkret dalam mengurangi ketegangan di Semenanjung Korea. EAPC dapat berperan dalam menetapkan jalur-jalur komunikasi krisis, meningkatkan latihan militer bersama yang bersifat defensif, serta melibatkan diplomasi antar masyarakat untuk menguatkan perdamaian berkelanjutan.
Koalisi ini memerlukan lebih dari sekadar deklarasi politik. Ini adalah waktu yang tepat bagi Indonesia untuk memulai sebuah "diplomasi budaya" yang lebih mendalam. Dengan memanfaatkan kekayaan tradisi dan sejarah Asia, Indonesia dapat mendorong pendekatan baru terhadap perdamaian yang tidak hanya bergantung pada kekuatan militer atau politik semata.
Diplomasi ini dapat mencakup program pertukaran budaya, pendidikan, dan inisiatif masyarakat sipil yang menekankan pentingnya persatuan Asia di tengah ancaman eksternal. Misalnya, sebuah festival perdamaian tahunan yang diadakan di kota-kota besar Asia, mempertemukan seniman, pemikir, dan aktivis dari seluruh wilayah untuk berdialog tentang masa depan Asia yang lebih aman. Acara semacam ini dapat memperkuat rasa saling pengertian dan empati antar bangsa, yang pada gilirannya dapat menurunkan eskalasi konflik.
Dalam konteks ini, angka-angka menunjukkan urgensi dari pendekatan proaktif. Anggaran pertahanan Korea Selatan yang meningkat menjadi USD 50,2 miliar mencerminkan ketegangan yang meningkat, sedangkan anggaran pertahanan Jepang yang mencapai USD 46,3 miliar pada 2023, naik 10% dari tahun sebelumnya, menunjukkan tren global menuju peningkatan alokasi untuk keamanan. Angka-angka ini tidak hanya menyoroti kompetisi militer yang ketat tetapi juga kebutuhan mendesak untuk langkah-langkah diplomatik yang dapat meredakan ketegangan.
Di era informasi saat ini, Indonesia dapat mengambil langkah berani dalam bidang teknologi dengan memimpin upaya pembentukan Pusat Komando Siber Regional yang berfungsi untuk melawan disinformasi dan propaganda yang dapat memicu ketegangan antar negara.