Minggu ini, jagat maya dihebohkan dengan berita yang membuat alis banyak orang terangkat, bukan karena botox, tapi karena kaget. Bayangkan, KPK mengaku tidak berwenang mengusut dugaan gratifikasi kepada Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi. Bukan, ini bukan berita dari acara lawak atau meme politik, ini pernyataan serius dari lembaga antirasuah kita. Ya, serius.
Menurut KPK, Kaesang bukanlah penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil. Jadi, menurut UU, KPK tidak punya hak atau wewenang buat nyiduk Kaesang. Buat yang baru tahu, ini mungkin terdengar aneh, "Masa sih gratifikasi bisa dibiarin?" Tapi, mari kita ingat, ini bukan soal siapa yang menerima, tapi siapa yang memberi. Nah, KPK punya wewenang kalau yang nerima gratifikasi itu pejabat negara, bukan pengusaha startup yang hobi kulineran.
Tapi, coba kita bayangkan kalau seandainya KPK sampai tertarik buat memeriksa Kaesang. Mungkin mereka bakal bingung juga, "Ini gratifikasi atau sekadar traktiran mie ayam waktu nongkrong di warung?" Kalau sudah begini, pasti bakal ada juri rasa yang perlu didatangkan buat uji coba mie ayam dan menentukan apakah ini bentuk sogokan terselubung atau cuma pertemanan di level platinum.
Dunia persilatan gratifikasi memang pelik, Sobat Kritis. Kalau pejabat negara terima amplop tebal, itu sudah jelas kode merah. Tapi kalau anak presiden dapat traktiran atau hadiah, mungkin itu cuma kode Wi-Fi gratis. KPK pun tampaknya malas ribut soal kode-kodean ini, jadi mereka lebih baik ngopi sambil nunggu kasus lain yang lebih jelas juntrungannya.
Di tengah gonjang-ganjing ini, KPK juga sepertinya ingin mengajarkan kita semua pentingnya memahami batas-batas kewenangan. Ingat, KPK itu bukan CCTV yang bisa ngawasin semua orang, apalagi kalau yang diawasin cuma beli mie ayam di pinggir jalan. Mereka punya daftar prioritas, dan sayangnya (atau syukurnya), Kaesang nggak ada di daftar itu.
Kalau dipikir-pikir, menarik juga kalau kita coba pahami dari sisi Kaesang. Bayangin tiap kali mau terima hadiah, harus mikir, "Wah, ini gratifikasi gak ya?" Mungkin dia perlu hire konsultan hukum cuma buat nanya, "Traktiran kopi di Starbucks itu gratifikasi nggak, Bro?" Hidup memang penuh risiko, apalagi kalau kamu kebetulan anak presiden.
Lagipula, KPK juga tampaknya nggak mau repot-repot harus mengecek satu per satu hadiah yang masuk ke Kaesang. Bukan apa-apa, mereka kan sudah cukup sibuk ngurusin kasus-kasus besar yang emang butuh perhatian. Urusan gratifikasi mie ayam mungkin diundur dulu sampai ada laporan lebih serius, misalnya penampakan unicorn di DPR.
Dan jujur saja, siapa sih yang nggak pengen traktir anak presiden? Bukan buat gratifikasi, tapi buat konten Instagram, dong! Bayangin caption-nya: "Makan siang bareng Kaesang, hasil gratifikasi? Cuma bercanda, guys!" Lalu diakhiri dengan emoji ketawa nangis. KPK pasti langsung geleng-geleng kepala sambil mikir, "Dunia sudah terbalik."
Sebenarnya, pernyataan KPK ini secara nggak langsung mengingatkan kita kalau dunia hukum itu penuh dengan aturan yang nggak semua orang ngerti. Kadang kita mikirnya simpel aja, "Pokoknya ada hadiah, ada sogokan, pasti kena!" Padahal kenyataannya, nggak semua bisa disederhanakan begitu. KPK tahu aturan mainnya, dan mereka tahu kapan harus maju dan kapan harus mundur.
Kalau Kaesang memang bukan target yang tepat, ya sah-sah saja KPK bilang begitu. Daripada buang-buang waktu ngurusin yang bukan urusan mereka, lebih baik mereka fokus di tempat lain yang lebih urgent. Dan kalau kita semua mau belajar sesuatu dari ini, mungkin pelajaran utamanya adalah: jangan mudah terprovokasi, apalagi oleh berita yang cuma sepotong-sepotong.
Paling penting, kita juga belajar bahwa dunia politik itu seperti mie ayam: kalau nggak tahu bumbunya, ya nggak usah sok tahu komentarin rasanya. Biarin KPK yang kerjain tugasnya, dan kita fokus saja sama urusan masing-masing. Kalau mau traktir teman makan siang, pastikan bukan gratifikasi, dan kalaupun ya, pastikan itu mie ayam yang enak.