Lihat ke Halaman Asli

Mengelola Arus Informasi di Era Digital

Diperbarui: 28 Januari 2025   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Mengelola Arus Informasi di Era Digital

Beberapa minggu lalu, saat sedang menikmati secangkir kopi pagi, saya tiba-tiba terhentak oleh sebuah notifikasi di ponsel. Update terbaru---sebuah berita viral yang rasanya seperti menuntut perhatian saya. Belum sempat saya baca lebih dalam, sebuah pesan di WhatsApp juga masuk, mengingatkan saya akan artikel penting yang harus saya baca. Begitu membuka Instagram, lebih banyak lagi informasi yang mengalir. Video pendek, meme, opini, berita, hingga teori-teori yang lebih dari sekadar aneh.

Begitulah hidup saya kini. Setiap detik dibanjiri informasi---tentang dunia, tentang diri saya, tentang orang lain. Setiap platform menawarkan sesuatu yang seolah tak bisa saya lewatkan. Tidak ada yang lebih menggetarkan daripada perasaan takut ketinggalan. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada rasa ditinggalkan dalam dunia yang penuh dengan pembaruan, di mana segala sesuatu harus selalu 'terkini.'

Namun, di balik derasnya informasi yang datang, saya mulai bertanya: Apakah semua ini benar-benar penting? Mungkinkah, seperti dalam sebuah kisah lama tentang si tukang batu yang tidak pernah berhenti menggali batu tanpa melihat ke depan, kita juga mengonsumsi informasi tanpa mempertanyakan ke mana semua ini membawa kita?

---

Ketika saya masih kecil, tak ada yang lebih berharga daripada memegang buku yang diisi dengan kisah yang menyentuh, atau mendengar cerita yang bisa membawa saya terbang jauh dari kenyataan. Namun hari ini, informasi itu bukan hanya datang dengan mudah; mereka datang dalam tumpukan, berlapis-lapis, berjejal-jejal. Tiap berita yang datang lebih cepat dari yang sebelumnya. Setiap meme, setiap viral, seakan mendikte apa yang harus saya pikirkan.

Namun, sebagaimana kita memerlukan waktu untuk mencerna makanan, bukankah pikiran kita juga memerlukan ruang untuk menyaring dan mengolah semua informasi tersebut? Bayangkan jika kita terus-menerus memaksakan diri untuk makan lebih banyak, tanpa memberi waktu untuk mencerna makanan yang sudah ada. Apa yang terjadi? Kita akan merasa kenyang tanpa rasa, penuh tanpa makna. Begitu pula dengan otak kita---kita terjebak dalam arus informasi yang tak pernah berhenti, tanpa waktu untuk meresapi dan memaknai.

Pernahkah kita bertanya kepada diri sendiri, Apa yang saya butuhkan dari semua ini? Satu jam scrolling di media sosial, membaca berita yang tak jelas sumbernya, menonton video yang hanya membuat kita tertawa sebentar. Seperti membeli barang yang kita tak butuhkan, kita mengonsumsi informasi tanpa berpikir panjang.

---

Di balik semua itu, ada satu hal yang lebih menonjol---mentalitas kita sebagai konsumen informasi. Dalam masyarakat kita, seperti halnya dalam kisah-kisah lama, ada kesan bahwa semakin banyak kita mengonsumsi, semakin kita dihargai. Semakin kita tahu segala hal, semakin kita dipandang pintar. Namun, yang jarang kita sadari adalah bahwa di balik kemudahan mengakses informasi, kita sering kali kehilangan kedalaman.

Seperti ketika kita berbicara tentang pertanian dan kehidupan petani yang perlahan menghilang, kita sering terjebak dalam kebisingan, dalam penilaian yang dangkal. Begitu pula dengan informasi. Kita terlalu sibuk mengejar lebih banyak, tanpa memahami apakah itu benar-benar menambah kualitas hidup kita.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline