Lihat ke Halaman Asli

Pernikahan Beda Agama, “Budak CINTA BUTA” Oleh : Heni Pratiwi (Satelit53), dari berbagai sumber

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mahasiswa Fakultas Hukum universitas Indonesia (UI) Anbar jayadi bersama empat orang temannya menggugat UU Pernikahan ke MK . Menurut mereka, pasal 2 ayat 1 UU No. 1/974 yang berisi “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu” telah menyebabkan ketidakpastian hokum bagi yang akan melakukan perkawinan beda agama di Indonesia (kompas.com, 4/9).

“kita kan tidak tahu akan bertemu dengan siapa kedepannya; akan suka sama siapa; akan kawin dengan siapa. Makanya, ketika melakukan perkawinan, negara harus menjamin hak-hak kita agar punya status hukum yang jelas” kata Anbar di gedung Mk (kamis, 4/9/2014).

Jika pernikahan beda agama ini dilegalkan MK, dengan alasan HAM dan sebagainya akan banyak lagi pihak yang menuntut agar ragam pernikahan yang dilarang dalam Islam dilegaglkan. Pernikahan sedarah, pernikahan sejenis dan praktek perzinahan akan minta dilegalkan.

Pada hakikatnya, pernikahan hanya merupakan salah satu hubungan yang terjadi, karena selain perkawinan terdapat pula jenis-jenis hubungan yang lain. Oleh karena itu, interaksi yang bersifat seksual antara pria dan wanita bukanlah satu-satunya gejala yang tampak dari adanya naluri seksual (gharizah an-naw’) pada keduanya. Terdapat berbagai gejala lain yang tampak selain adanya rasa keibuan, kebapakan, dan persaudaraan atau status sebagai anak, bibi, dan paman, yang semuanya merupakan manifestasi dari gharizah An-naw’.

Dari sini, berarti hubungan yang lahir sebagai implikasi dari adanya interaksi atau pergaulan antara pria dan wanita adalah menyangkut aspek-aspek keibuan, kebapakan, dan seterusnya, disamping perkawinan. Namun demikian, perkawinan merupakan pangkal, sementara berbagai hubungan lain hanya merupakan cabang dari adanya hubungan perkawinan . dengan arti lain, jika tidak ada perkawinan, tidak mungkin muncul status bapak, ibu, dan lain sebagainya.

Perkawinan merupakan pengaturan hubungan antara unsur laki-laki (mskulinitas) dengan unsur perempuan (feminitas). Dengan kata lain, perkawinan mengatur interaksi kedua jenis kelamin, yakni pria dan wanita, dengan aturan yang khas. Peraturankhas ini mengharuskan adanya pengaturan hubungan lawan jenis antara pria dan wanita dalam bentuk tertentu.

Ketentuan perkawinan untuk muslim dan muslimah

a)Perkawinan untuk muslim

Nikahilah untuk kalian wanita-wanita yang kalian senagi dua, tiga, atau empat. (Q.S An-nisa : 3 )

Islam telah mendorong pria muslim yang telah mampu untuk menikahi wanita yang masih perawan/gadis, serta subur keturunannya. Anas r.a. menuturkan bahwa Nabi saw. Pernah memerintahkan kaum muslim untuk menikah dan melarang keras untuk membujang melalui sabdanya;

Kawinilah oleh kalian wanita penyayang dan subur keturunannya, karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan para nabiyang lain pada hari kiamat nanti. Allah Swt. Telah memperbolehkan pria muslim untuk mengawini wanita ahlu kita, yaitu pemeluk agama yahudi atau nasrani.

Allah Swt. Berfirman;

Pada hari itu, telah kani halalkan bagi kalian perkara yang baik-baik. Makanan sembelihan orang-orang ahlul kitab adalah halal bagi kalian. Makanan kalian adalah halal pula bagi mereka. Demikian pula wanita-wanita mukmin yang selalu menjaga kehormatan dan wanita-wanita yang senantiasa menjaga kehormataan dari kalangan yang diberi kitab sebelum kalian, jika kalian telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahi mereka; tidak dengan maksud untuk menzinai mereka dan menjadikan mereka sebagai gundik. ( Q.S al-Maidah : 5)

Namun, meskipun terdapat kebolahan untuk muslim untuk menikahi wa ita-wanita dari golongan ahlul kitab, terdapat juga anjuran untuk memilih muslimah untuk dinikahi, sebagai berikut;

Abu Hurayrah r.a. juga menuturkan bahwa Nabi saw. Bersabda,

Wanita itu dinikahi karena empat aspek; karena hartanya; karena keturunannya; karena kecantikannya; karena agamanya. Olleh karena itu, pilihlah wanita karena agamanya, niscaya engkau akan beruntung.

Bahkan, pada masa Khilafah Umar bin Khattab r.a. menghendaki agar itu tidak dijadikan sebagai pilihan pertama melainkan yang terakhir, artinya tetap mendahulukan untuk untuk menikahi wanita mukmin.

Ibn Jarir meriwayatkan bahwa Hudzaifah pernah menikahi seorang wanita Ahlu Kitab. Lalu Umar menulis surat kepada dia “ceraikan dia!”. Hudzaifah lalu membalas surat itu, “Apakah engkau menganggap itu haram sehingga aku harus menseraikan dia?”

Umar berkata, “Aku tidak menganggap itu haram. Namun aku takut kalian menjauhi wanita Mukmin.

Diakui atau tidak, latar belakang tuntutan mereka agar nikah beda agama disahkan sesungguhnya hanyalah dorongan nafsu dan “cinta buta”. Cinta merupakan manifestasi dari naluri seksual, sebenarnya lahir karena adanya stimulus (pemicu) berupa lawan jenis dan pandangan seseorang terhadap lawan jenisnya. Artinya tuntutan ini meletakkan cinta dan naluri seksual itu dianggap harus dipenuhi, jadilah manusia dikendalikan oleh naluri seksualnya, bukan sebaliknya dimana manusia yang mengendalikan nalurinya.

Pola piker seperti itu tidak memiliki standar halal-haram. Rasa cinta mereka biarkan tanpa kendali, akibatnya mereka tidak mampu lagi membedakan kepada siapa dan dengan siapa mereka harusnya cinta. Merek menabrak rambu-rambu yang telah jelas dilarang. Bahkan bagi mereka, jika perlu rambu-rambu yang melarang itu harus dihilangkan.

Konsekuensi nikah beda agama

Pernikahan beda agama dimana akad nya menyalahi syariat secara syar’I adalah batil. Ada beberapa konsekuensi dari pernikahan batil semacam ini.

Pertama; hubungan suami-istri menjadi tidak sah dan dianggap layaknya berzina

Kedua; pertalian nasab bapak biologis dengan anaknya terputus. Bapak biologiis tidak diakui sebagai wali karena nasabnya terputus

Ketiga; hokum nafkah bagi bapak biologisnya juga tidak ada

Keempat; antara bapak biologis dan anak biologisnya tidak ada hubungan waris

Kelima; jika bapak biologis itu menjadi wali anaknya, yang merupakan hasil dari pernikahan beda agama, maka status kewaliannya juga tidak sah. Dampaknya, akad pernikahan anak itu juga tidak sah, dan hubungan suami-istrinya pun tidak sah.

Antisipasi dan solusi pernikahan beda agama

Agama islam yang sempurna, memiliki peraturan sendiri terhadap penjagaan antara laki-laki dengan perempuan ( nidzamul ijtima’I fil islam).

Pertama, islam telah memerintahkan kepda manusia, baik pria maupun wanita untuk menundukkan pandangan. (lihat Q.S an Nur:30-31)

Kedua, islam memerintahkan kepada kaum wanita untuk mengenakan pakaian secara sempurna, yak dari suatu tepni pakaian yang menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. (lihat an-Nur : 31 dan al-Ahzab:59)

Ketiga, Islam melarang seorang wanita melakukan safar (perjalanan) dari satu temaat ketempat lain sehari semalam, kecuali jika disertai dengan mahramnya.

Keempat, Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali wanita itu disertai mahramnya.

Kelima, islam melarang wanita untuk keluar dari rumahnya kecuali seizing suaminya.

Keenam, islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus hendaknya jamah (komunitas) kaum wanita terpisah dari jamaah (komunitas) kaum pria; begitu pula di masjid, di sekolah, dan sebagaimya.

Ketujuh, islam sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan-urusan muamalat; bukan hubungan yang bersifatkhusus seperti saling mengunjungi satu sama lain atau jalan-jalan bersama.

Dengan hokum-hukum ini, nislam dpat menjaga interaksi pria dan wanita, sehingga tidak terjadi interaksi yang mengarah pada hubungan lawan jenis atau hubungan yang bersifat seksual yang diluar koridor syariat islam, baik antara muslim dan muslimah sendiri, maupun antara kaum muslim dengan non-muslim. Islam mapu memecahkan hubungan-hubungan yang muncul dari adanya sejumlah kepentingan individual, baik pria maupun wanita ketika masing-masing saling bertemu dan berinteraksi seperti kewajiban nafkah, status perwalian anak, pernikahan dan lain sebagainya. Maka untuk menyelesaikan semua persolan yang terjadi, semua masalah Harus dikembalikan kepada hukum islam. Penerapan hukum islam secara kaffah dapat diselesaikan di bawah naungan Khilafah Islamiyah, dengan itu semua permasalahan yang dihadapi umat saat ini akan selesai tentu dengan izin dan pertolongan Allah SWT.

REFERENSI

An-Nabhani, Taqiyuddin, 2001. Nidzamul ijtima’i fil islam ( sistem pergaulan dalam islam)-terjemahan, Jakarta , Pustaka Thariqul Izzah.

AL ISLAM, Edisi 721, 17 Dzulqa’idah 1435 H-12 September 2014 M

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline