Baca judulnya aja, pembaca sudah curiga bahwa saya ini termasuk kelompok Haters Ahok, lha belum apa apa kok sudah berani ngomong begitu. Sabar dulu pembaca, penulis bukan hater siapapun, ngapain energie (apalagi ini energie negatip) penulis terkuras hanya untuk menjadi sekedar Hater, lebih enakan jadi Bloger. Introduction dulu ya, penulis acapkali melakukan taruhan dengan rekan-rekan dan selalu menang (kecuali untuk taruhan Bola ya). Kenapa selalu menang dan juga kenapa di taruhan bola belum tentu menang ? Bukan sulap bukan sihir apalagi klenik (sesuatu yg penulis jijik mendengarnya), semua itu dapat ditelusur secara ilmiah dan rasional. Penulis selalu menang karena penulis menggunakan ratio (pikiran) sedang lawannya menggunakan hati (perasaan/kesukaan/preferensi).
Mereka memilih si A karena mereka suka dengan si A dan mengharap si A yg menang. Penulis memilih si B karena menurut kalkulasi rasional & probabalitas justru si B lah yg lebih berpeluang menang. Lantas kenapa di Bola belum tentu menang, jawabnya simple sekali… sebab di bola ada 22 pemain. Ini berlipat kali dibanding dengan adu tinju, badminton, pilpres dsb dsb. Jumlah 22 pemain membuat variable probabilitas menjadi sangat jauh dari jangkauan kalkulasi, kecuali tentunya bila yg bertanding adalah Real Madrid melawan PSSI.
TARUHAN SEJATI menggunakan Akal Pikiran / Ratio dan Data serta Informasi yg amat sangat akurat sedang judi hanyalah sekedar klenik untung2an yg berlandaskan nafsu keserakahan semata. Para partai di Indonesia sekarang ini sedang mencermati situasi dan peluang, pada hakikatnya mereka itu sedang melakukan taruhan politik. Keuntungan bagi mereka itu tak cuma sekedar mereka dapat posisi apa, misalnya wagub atau yg lain. Bukan sekedar itu, jauh lebih complex, mendapat simpati public itu juga merupakan keuntungan karena dapat dikonversikan menjadi peningkatan elektabilitas di Pileg mendatang.
Oke sekarang kembali ke Ahok, apakah beliau pasti kalah ? Penulis tidak berani memastikan seperti itu sebab politik di Indonesia itu sesungguhnya lebih complex untuk ditebak daripada yg di USA. Apalagi sang King Maker terkadang suka membuat decisionnya pada The Last Minute. Bagi Ahok Lovers mungkin faktor King Maker tsb tak mereka perhitungkan, padahal beda lho bila sang King Maker menjatuhkan pilihan pada Risma atau malah justru pada Ahok. Mengatakan Ahok pasti kalah atau menang disaat belum ada kepastian seperti sekarang ini hanyalah sebuah Judi Politik, bukan TARUHAN POLITIK SEJATI. Variable belum lengkap terpapar di depan kita, bagaimana kita sanggup mengkalkulasikannya kecuali dengan main untung2an semata.
Kembali ke judul di atas. Mohon maaf buat Ahok Lovers, ini hanya sekedar simulasi reka rekaan penulis. Tenang, belum tentu Ahok kalah kok. Cuma ANDAIKAN beliau kalah, apa yg akan beliau lakukan ??? Balik lagi jadi pengusaha atau tetap berkiprah di Politik, andai tetap di politik terus mau jadi apa, calonkan diri jadi bupati, walikota, gubernur daerah lain atau mau jadi menteri aja ? Yang mampu jawab pertanyaan tsb sesunguhnya mungkin cuma ada 2 yakni si Ahok sendiri dan Tuhan. Lantas kenapa penulis buat judul seperti itu ? Karena penulis penasaran dan ingin mereka-reka jalan pikiran rasional Beliau. Semua orang waras, normal alias tidak gila, sesungguhnya masih dapat direka jalan pikirannya. Apalagi Beliau itu tak cuma sekedar normal tapi sangat cerdas dan rasional, maka jalan pikiran rasional seperti Beliau itu sesungguhnya jauh lebih mudah direka, ditelisik, bahkan dipahami.
Mari kita mulai, pernah ada surat terbuka dari warga Medan yg mengharapkan Ahok ke kampung halamannya sang penulis tsb untuk jadi pemimpin disana, karena menurutnya Ahok diserang terlalu sadis di DKI, sang penulis coba yakinkan Ahok bahwa beliau akan disambut hangat warga Medan. Andai benar Ahok akan disambut hangat, apakah beliau akan mau ? Sebelum menjawab, perkenankan penulis untuk menjelaskan makna dari kata AMBISI. Ini amat sangat penting agar tak menimbulkan salah persepsi yg dapat berujung pada debat kusir yg tak perlu. Penulis memaknai ambisi sebagai keinginan untuk maju, selangkah atau bahkan beberapa langkah untuk maju ke depan. Tak ada dalam benak penulis konotasi negatip atas kata tsb. Bahkan penulis tidak setuju atas beberapa kata netral di dunia international yg mendadak menjadi berkonotasi negatip saat dipakai di Indonesia seperti kata Oknum,
Manipulasi dan juga Ambisi. Punya ambisi itu wajar bahkan diharuskan oleh agama apapun, yg tak boleh itu adalah menghalalkan segala cara dalam meraih ambisinya. Mungkin karena itulah kata ambisi menjadi peyoratip karena adanya unsur penghalalan segala cara. Namun disini bukan itu yg penulis maksud. Nah bila kata AMBISI menjadi keyword untuk mereka-reka jalan pikiran Ahok, maka separuh perjuangan sudah berhasil kita tempuh. Menjadi gubernur SumUt tidak lebih bergengsi daripada menjadi gubernur DKI, kalau boleh jujur kata, mohon maaf untuk warga SumUt, malah kalah prestige. Waah kalau gitu mau jadi apa dong, DKI khan cuma ada 1 di Indonesia. Maka menjadi gubernur harus dicoret dari daftar ambisi politik beliau, lantas mau jadi apa … jadi Menteri ? Iya itu boleh juga, dan itu amat sangat rasional.
Perhatikan bahwa tanggal pengumuman reshuffle kabinet persis sama dengan tanggal saat Ahok deklarasikan diri maju lewat parpol. Artinya setelah yakin positip bahwa Ahok akan peroleh ticket maju ke Pilgub maka Jokowi mengumumkan reshuffle kabinetnya. Kenapa Jokowi yg sekelas presiden jadi bergantung pada Ahok yg cuma sekedar Gubernur ? Itu bukan bergantung, namun secara rasional Jokowi akan merasa sayang kalau Ahok yg Beliau nilai mampu serta dekat secara pribadi dengannya tersia siakan begitu saja. Semua ada pertimbangan, pertimbangan politis tentunya. Lantas gimana peluang Ahok ? Apakah beliau tunggu panggilan Jokowi untuk jadi menteri atau ada pilihan lain ? Emangnya ada pilihan lain yg lebih bergengsi selain jadi menteri. Gak ada khan ….. heii heei tunggu dulu, kenapa gak jadi Ketua Umum Partai aja… ? Partai apa, emangnya PDI ? Hadeeeh jangan berkhayal, ya tentu aja mendirikan partai sendiri. Bukankah partai sudah banyak ? Memang, namun kalau semua berpikir demikian maka partai Demokrat tak akan pernah berdiri, ingat Demokrat pernah menjadi pemenang No 1 lho.
Buat partai baru itu gampang, yang tak gampang adalah gimana caranya supaya laku. Supaya laku, syarat partai ada 2, pertama relatip bersih dari korupsi dan yg kedua adalah ada tokoh berMagnet Besar skala Nasional. Sesungguhnya masih ada 1 syarat lagi namun sengaja tidak penulis masukkan, yakni partai tsb menjual Ideologi Primordialism, Sectarianism, Ahok tak mungkin masuk dalam kelompok ini. Apakah pembaca ada yg berkerut kening dan ngrundel, ah Ahok rasanya belum mampu menjadi Magnet Nasional. Bingo, Anda 100% benar, bukan Ahok yg jadi magnet tapi Jokowi. Sebagaimana halnya SBY menjadi magnet bagi partai Demokrat. Bukankah Jokowi itu milik PDI ??? Emangnya di politik itu ada hal yg mustahil ??? Bila itu terjadi maka sama saja dengan Ahok menghujamkan hook telak langsung ke ulu hati PDI. Aaah the Revenge is so sweet. Losta Masta Baby.
Sekian dulu pandangan penulis, mohon maaf bila ada yg kurang berkenan, mohon kritik, saran dan juga tambahan point perspektip dari sudut pandang para pembaca budiman. Terima kasih.
Tulisan ini merupakan bagian dari Trilogi, Tulisan berikutnya adalah :